Kala siang itu, saya menghadiri sesi kuliah yang saya tempuh di sebuah perguruan tinggi cukup ternama di Jawa Tengah. Menariknya, sesi kuliah yang saya ambil ini diampu oleh seorang dosen yang sudah saya kenal dan barangkali tak hanya saya saja yang menilai dosen pengampu mata kuliah ini cukup "kental" dengan pandangannya yang berbau reliji kebanyakan.Â
Ada satu hal yang sungguh saya ingat waktu itu, dosen saya mengkritisi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, ia menuturkan bahwa dalam hal tersebut seharusnya pemerintah lebih mementingkan umat reliji kebanyakan di bidang pembangunan dan ekonomi karena yang umat kebanyakan itu memiliki jumlah terbanyak di negara kita.
Maklum, saat kejadian itu berlangsung, negara kita sedang diterpa oleh gelombang romantisme kebangkitan salah satu reliji yang jumlahnya terbanyak. Meski jumlahnya terbanyak, entahlah, di mata saya penggunaan kata kebangkitan mereka ini justru menjadi daya tarik sendiri karena kebangkitan itu sendiri seharusnya merupakan tanda bernada comeback dari keterpurukan.Â
Contohnya saja tokoh agung reliji aliran Serani. Setelah melalui kisahnya disalib, tokoh tersebut bangkit kembali untuk menunjukkan keagungannya untuk menebus dosa umat manusia. Sebuah kisah yang agung. Namun, penggunaan kata kebangkitan reliji kebanyakan yang digembar-gemborkan akhir-akhir ini justru hanya mempermalukan mereka sendiri dengan statusnya sebagai mayoritas yang merasa inferior.
Berangkat dari situ, tampaknya fenomena pemikiran yang ingin mengedepankan keuntungan dari jumlah reliji terbanyak ini tak hanya satu dua saja yang bisa dijumpai. Hal ini tercermin sebagaimana Michael Buehler mengatakan dalam bukunya berjudul "The Politics of Sharia Law", bahwa sejak tahun 1998 tercatat muncul  443 Perda Syariah di Indonesia secara keseluruhan. Melalui fenomena sedemikian rupa, jika kita sadar kita hidup berdampingan di negeri yang multikultural ini, mengapa kita lebih memilih untuk berpikir secara sektarian ketimbang universal?
Redupnya Cahaya di Gua Plato dalam Ambang Romantisme Sektarian
Satu hal yang sering menjadi alasan dari jargon utama oleh umat reliji kebanyakan dalam perasaannya yang superior ialah jumlahnya yang terbanyak. Gamblangnya, gelar tak resminya sebagai mayoritas. Melalui agenda-agendanya yang dilancarkan seperti Perda Syariah hingga ekonomi didasarkan hukum relijinya dan banyak lainnya, mereka membawa simbol identitasnya sebagai  bagian dari anggota tersebut. Dari sini, ketika kita sudah mengangkat keagungan identitas kita dengan landasan mayoritas, pertanyaan timbul pada bagaimana nasib minoritas dan lainnya yang bahkan tidak memiliki kedudukan pengakuan oleh konstitusi negara?
Ketika ditanya mengenai agenda-agenda mereka yang tak universal, mereka kerap menolak untuk mengakui tersebut, sementara mereka melupakan bahwa hal utama yang terdapat pada agenda yang dibawa adalah berlandaskan identitasnya semata. Dari situ, hal tersebut pada akhirnya mengantarkan pada kondisi bernegara kita ke di mana keadaan minoritas dengan "aliran"nya yang berbeda hanya memiliki opsi untuk mau dan tak mau ialah mengikuti agenda yang dibuat oleh sang kaum kebanyakan. Hal tersebut dianggap oleh mereka yang banyak itu sebagai adil dan toleran.
Contohnya saja, di tataran kampus dan juga masyarakat kita dapati adanya agenda membawa ajaran relijinya dalam tataran ekonomi (perbankan). Â Pada satu kesempatan, saya pernah mendapati ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seseorang panelis dalam sebuah diskusi di kampus saya mengenai penerapan Syariah dalam tataran ekonomi, kemudian panelis tersebut menanyakan pada pembicara mengenai sifat keinklusifannya pada mereka yang tidak satu "aliran" dengannya.Â
Pembicara tersebut dengan mudahnya menjawab dengan berkata bahwa di dalam penerapan Syariah di tataran ekonominya, mereka yang tidak se"aliran" itu bisa juga mengikuti agenda ini. Apa yang mencerminkan dari pola pikir seorang sekelas pembicara tersebut ialah ada hal yang terlupakan dalam cara hidup kita yang sudah diteguhkan oleh dasar negara mengenai kehidupan yang multikultural. Tak banyak yang mau menyuarakan hal ini.
Adanya fenomena pementingan golongan-golongan tertentu, dalam hal ini mayoritas, mengingatkan kita untuk kembali berefleksi pada bagaimana analogi "Gua Plato" bekerja. Dalam dialog terhebatnya, Republic, Buku VII, Plato menganalogikan situasi manusia yang terpenjara di dalam gua dengan keadaan leher dan kaki mereka dibelenggu dengan rantai sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu memandang pintu gua.Â