Resensi Film “The Blind Side”
Judul: The Blind Side
Durasi: 126 minutes
Pemain:Sandra Bullock, Tim McGraw, Quinton Aaron
Sutradara: John Lee Hancock
Jika sebuah film ditandai oleh berbagai makna yang tersirat secara positif, maka film tersebut berhasil memberikan pesan yang baik bagi konsumennya. Apalagi nilai-nilai universal dalam kehidupan pun terangkat dalam kisahnya, menjadikan kesentuhan tersendiri bagi penonton, sebagaimana cerita di film iniyang berjudul “The Blind Side”. Film ini berangkat dari kisah nyata tentang seorang pemain rugbi kulit hitam dari klub Baltimore Ravens. Pemain rugbi ini, Michael Oher, tumbuh dari keluarga kulit hitam yang berantakan, miskin dan mempunyai traumatis.
Kala pendidikan tidak lagi berpihak pada anak-anak yang dianggap bodoh, kecerdasan di bawah standar tes, miskin, dan berkesulitan dalam belajar. Kisah nyata dari Michael Oher yang diperankan oleh Quinton Aaron sebagai Big Mike kerap menjadi anak remaja yang berbeda dan unik di antara yang lain. Berdasarkan tes Big Mike memiliki IQ 0,6 hal itu membuat para guru serta pemegang kebijakan di sekolah swasta ragu menerima anak tersebut. Yang mengherankan lagi,
ketika ia sudah masuk ke sekolah swasta tersebut dan mengikuti pelajaran, ia tak pernah menulis apalagi mengerjakan tugas yang diberikan para guru. Kalaupun ada coretan di kertasnya itu hanyalah sebuah gambar yang mungkin bagi orang dewasa hal itu tidak berarti. Persoalan ini membuat para guru harus duduk bersama dan mendiskusikan permasalahan yang ada pada diri Big Mike dan temukan solusinya.
Gestur Big Mike yang tingginya 2 meter lebih dan besar itu menyebabkan mengapa ia dipanggil Big Mike oleh orang-orang di lingkungan sekitarnya. Padahal di benaknya yang paling dalam, ia tidak suka dipanggil dengan sebutan “Big” (besar). Ternyata hal sederhana dan sepele ini membuat kita para orang dewasa khususnya pendidik dan pemerhati anak dapat membuat harga diri (self esteem) mereka (anak-anak) merasa rendah. Kalau hal ini akan dibiarkan secara terus-menerus maka tidak menutup kemunginan akan berdampak terjadinya inkonsistensi dalam diri anak. Bahaya. Oleh sebab itu dalam dunia pendidikan khususnya pelaku pendidikan yakni guru perlu hati-hati dalam melabelkan anak apalagi berkaitan dengan fisiknya. Terkadang kejadian ini sering kali terjadi dalam lingkungan kita dengan dalil just kidding (hanya bercanda).
Rahasia Big Mike
Masih dengan kisahnya Big Mike ternyata nasib membawa dirinya ke arah perubahan yang lebih baik. Ia bertemu dengan sebuah keluarga yang care dan demokratis. Disini ia dihadapkan oleh sosok perempuan sebagai Ibu yang memberikannya semangat hidup menjadi lebih menggelora. Menggelora dalam arti berjuang membangun jati dirinya serta gelora dalam meningkatkan potensi yang dimilikinya. Keluarga terpandang Tuohy ini kemudian mengadopsi, merawat dan mengembangkan bakatnya sebagai pemain rugbi.
Bullock bermain sebagai Leigh Anne Tuohy, seorang Ibu yang bertanggungjawab kepada keluarganya dan penyayang ini sangat sabar dalam merawat Big Mike. Segala usaha ditempuh untuk naluri kemanusiaanya yang dalam. Sehingga ia dapat membantu Big Mike menjadi pemain rugbi yang handal dan menjadi incaran beberapa universitas ternama di Amerika. Yang menakjubkan dari sosok Big Mike ini adalah selain ia memiliki kecerdasan di bidang kinestetik, menurut tes yang telah dilakukan ternyata ia pun memiliki protect instink (insting melindungi). Inilah yang menjadikan Anne terharu sekaligus memegang kunci potensi dari pribadiseorang Big Mike yang dianggap sebagian besar orang underachiever (IQ di bawah rata-rata). Berangkat dari sini, Anne berupaya sekuat tenaga membantu dan membuktikan bahwa Big Mike dapat menunjukkan potensinya melalui sebuah permainan rugbi yang akhirnya membuatnya terkenal dan mendapatkan universitas terbaik atas pilihannya.
Analisis konten
Setiap anak di dunia ini memang unik. Potensi mereka sangat luar biasa jika banyak stimulus positif mendukungnya. Namun memang tidak sebagian banyak anak yang memperlihatkan kecerdasannya di hadapan kita, ada yang namanya kecerdasan yang dalam (deep intellegences) dan belum tergali. Inilah pelajaran yang dapat kita tumbuhkembangkan dalam kehidupan sehari-hari baik oleh orangtua dan pendidik tentunya. Ada kecerdasan majemuk (Multiple Intellegences) yang tersirat dan termaktub di film ini.
Menganggap anak itu bodoh atau malas tidak membawa perubahan anak ke masa depan yang bersinar, melainkan ada stigma yang melekat dalam pikiran dan alam bawah sadar anak yang akan mencap bahwa dirinya adalah anak yang memang bodoh dan malas. Bagi orangtua dan pendidik disarankan menonton film ini. Sebab, film ini layak ditonton karena sarat akan pemahaman nilai individual defferences. Artinya, memandang semua orang itu berbeda, dan mempunyai bakat dan minatnya tersendiri. Serta selain itu film ini juga membuat para pendidik dan orangtua khususnya kaum ibu harus mengetahui dan memahami tipe dominasi kecerdasan yang dimiliki oleh anaknya. Jangan sampai peran keluarga yang seharusnya vital tidak dapat membaca tumbuhkembangnya anak serta minim pemberian stimulus. Bagi guru, film ini mengajarkan kita untuk tau startegi belajar (learning style) yang harus dirancang dalam pengajaran (lesson plan) sesuai kebutuhan siswa (need students).
Akhir kata, film ini satu dari sekian film yang mengangkat kisah nyata dari seorang anak yang underachiever menjadi anak yang dapat dibilang memiliki kecerdasan melindungi (protect), intrapersonal (intrapersonal smart), dan kinestetik (body smart) yang dapat mengubah mindset (cara pandang) kita terhadap diri anak. Semoga nilai yang termaktub di dalamnya membuat kita menjadi guru yang totalitas terlibat dengan muridnya di sekolah (engage teacher) dan orangtua yang bijak di hati anak-anak. Do the best!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H