Mohon tunggu...
Nining Parlina
Nining Parlina Mohon Tunggu... -

Nining Parlina.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spektrum Pemimpin yang Kreatif

29 Desember 2009   19:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemimpin adalah pemimpin. Bermimpi menjadi pemimpin itu memungkinkan. Tapi pemimpin bukanlah pemimpi. Yang dapat tidur kapan saja dan hanya bermimpi disiang bolong.

Sejatinya Pemimpin

Ironis, melihat para pemimpin negeri ini yang hanya pandai berkata-kata namun tak pandai tegur sapa. Mengkritik sebuah kebijakan memang enak, apalagi kebijakan itu jelas-jelas tidak berpihak pada “kita” bukan rakyat. Kita yang dimaksud adalah kita yang merasa mempunyai kepentingan. Tentunya kepentingan sepihak yang menguntungkan golongannya.

Paragraf di atas tidak bermaksud menjadikan pembukaan yang membiaskan makna. Namun sebuah fakta yang bagi sebagian dari “mereka” sangat merasa. Bagaimana bisa calon pemimpin negeri ini seolah hanya pandai berkaca namun tetap saja dirinya tak terjaga. Dalam sebuah kepemimpinan tentunya sudah diketahui bersama bahwasanya terdapat suatu tatanan nilai dan etika yang sakral. Kendatinya tidak semudah orang bisa menjamahnya.

Dalam etika kepemimpinan, seseorang tahu bagaimana bersikap dan menghadapi masalah. Apalagi yang namanya seorang pemimpin tidaklah mudah dalam mengambil keputusan secepat mungkin. Namun itulah kelebihan dari kapasitas seorang pemimpin, mau tidak mau, harus memberikan keputusan yang bijak demi hajat hidup rakyatnya.

Pemimpin yang cerdas dalam pengambilan keputusan (decision maker) adalah pemimpin yang berani. Jika keputusan yang diambil membawa dampak yang berarti, itu namanya pemimpin yang sejati.

Sentuhan pemimpin yang kreatif

Kreatifitas adalah kemampuan untuk mencipta; daya cipta; dan berkreasi. Mendengar kata kreativitas, sering kali timbul di dalam pikiran kita bahwa kreatifitas itu adalah milik dari Para Seniman, Para Pelukis dan Para Pengarang Buku saja. Dibenak kita, mereka itulah yang dikategorikan sebagai orang-orang kreatif, yang memiliki kemampuan untuk menciptakan dan punya banyak sekali imajinasi. Paradigma yang demikianlah yang perlu kita ubah ke masa pemikiran saat ini bahwa kreatifitas dapat dimiliki oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Dalam lingkup pendidikan tidak bosan-bosannya kata kreatifitas dibahas dalam praktiknya di sekolah. Bagaimana guru harus kreatif, bagaimana menstimulus anak didik menjadi kreatif, bagaimana pembelajaran yang kreatif. Dan mungkin masih banyak permasalahan kreatifitas dibahas oleh pakar pendidikan kita. Mengapa kreatifitas begitu digembar-gemborkan saat ini?

Sistem pendidikan Indonesia dewasa ini sangat disibukkan oleh berbagai hal antara lain keterbatasan anggaran dan masalah sosial ekonomi, anak putus sekolah dan kejenuhan guru sehingga belum cukup perhatian untuk mengajarkan murid berpikir dan bertindak lebih kreatif, murid tidak dirangsang untuk menemukan dan mendefinisikan masalahnya sendiri. Hal demikian memungkinkan terciptanya generasi kita yang kerdil dan tak berkarakter. Pasalnya ketika murid tidak dipicu pada hal yang sifatnya kreatif, maka sampai kapan pun ia tidak akan pernah bisa menemukan solusi yang kreatif akan permasalahannya sendiri. Apakah hal tersebut terjadi pada pemimpin kita saat ini?

Jujur saja, pendidikan kita baru saja menjajaki teori dan kata-kata, belum pada tindakan yang nyata. Melihat satu kasus dari pendidikan saja, hal ini dapat dikomparasikan dengan watak para pemimpin kita. Bagaimana tidak, jika masalah Lapindo yang sampai saat ini belum terselesaikan, tetapi orang yang menjadi sebab muasababnya mencalonkan diri menjadi pemimpin. Apakah hal ini dikatakan kreatif? Jawabannya iya, iya keblinger. Rasa bersalah sudah mati di hati mereka. Padahal secara psikologis orang yang merasa dirinya masih punya rasa malu atau bersalah ia akan benar-benar menyesali perbuatannya dan mencoba mengupayakan rasa bersalah itu menjadi rasa bangga terhadap diri karena merasa sudah mencoba memperbaiki. Satu nilai plus bagi seseorang yang pribadinya bersalah namun mencoba memperbaiki kesalahannya tersebut.

Kinisepertinya para pemimpin kita perlu adanya sentuhan kreatifitas. Agar ia pun bisa menyentuh persoalan yang begitu rumit dari sisi yang kreatif. Namun sebenarnya, apakah kreatifitas menjadi kebutuhan pertama bagi seorang pemimpin? Jika ya apakah cukup dengan kreatifitas, jika tidak, berarti ada hal yang paling vital yang dibutuhkan para pemimpin atau calon pemimpin kita saat ini.

Krisis kepemimpinan saat ini membawa kita untuk berpikir jauh bagaimana nasib bangsa ini kedepan. Sentuhan kreatifitas tidak dapat dicapai satu atau dua hari. Kurang lebihnya diperlukanlah karakter yang kuat dari seorang pemimpin untuk memacu kreatifitasnya. Menurut Charles Reade taburkan benih pikiran, kau akan menuai aksi. Taburkan benih aksi, kau akan menuai kebiasaan. Taburkan benih kebiasaan, kau akan menuai karakter. Taburkan benih karakter, kau pun akan menuai takdir.

Bayangkan jika kreatifitas itu tidak terpikirkan dalam diri, maka bukan mustahil karya cipta dan inovasi tidak akan terwujud. Manifestasi kreatifitas seorang pemimpin tidak harus ketika ia menjadi pemimpin, karena pada hakikatnya kita adalah pemimpin. Kreatifitas perlu ditumbuhkan menjadi kebiasaan dan mengintegral pada pribadi seorang pemimpin.

Kreatifitas yang digiatkan ini bukan menjadi titik penuh suksesnya seorang pemimpin. Namun sumber kehidupan itu adalah kreatifitas. Jadi seorang pemimpin yang kreatif memungkinkan terjadinya sumber kesejahteraan bagi rakyatnya. Berharap penuh harap. Menghadapi persoalan bangsa yang pelik saat ini, seluruh potensi yang dimiliki setiap orang harus dimaksimalkan, agar tercipta kesinergisan dalam membangun bangsa ini menjadi bangsa yang berada dan bermoral.

Berbicara soal moral, rasanya tak pantas penulis menuliskan bagaimana kriteria seseorang yang bermoral tinggi. Pasalnya, tersadari bahwasanya setiap orang pasti mempunyai kelebihan (strength) dan kekurangan (weekness). Begitu pun seorang pemimpin, mengingat lirik lagu yang nadakan oleh De Massive bahwa “tak ada yang sempurna”. Kalau di Amerika masyarakatnya menginginkan para pemimpinnya harus mempunyai etika dan moral yang tinggi, penulis rasa tak jauh dengan pandangan masyarakat Indonesia. Apalagi kekhasan budaya Indonesia, adat ketimuran sangat dijunjung tinggi. Namun saat ini pandangan itu hanyalah selayang pandang. Kita pun tak tahu apa yang dilakukan para pemimpin kita di luar jabatannya.

Kalau saja mental para pemimpin kita saat ini telah menjadi bakat yang buruk, pada siapa lagi kita percaya? Sudah, masyarakatnya sajalah yang mencoba mengkreasi mental. Artinya, janganlah memikirkan keburukan dari sebagian besar pemimpin bangsa saat ini, kita ubah pemikirannya dengan berfokus pada kebijakannya yang mengutamakan rakyat (public).

Mendefinisikan Kepemimpinan

Kepemimpinan menurut Stephen R. Covey adalah mengomunikasikan nilai dan potensi orang-orang yang jelas, sehingga jelas mereka bisa melihat hal itu dalam diri mereka. Kata-kata nilai dan potensi bukan sekadar kata , melainkan punya makna. Artinya nilai tersebut merupakan hal yang tak terpisahkan dari mereka, yang sama sekali tidak berhubungan dengan hasil dari perbandingan antara diri mereka dengan orang lain, dan bahwa mereka berhak untuk mendapatkan kasih sayang tanpa syarat, tanpa memandang perilaku maupun kinerja mereka.

Lalu untuk mengomunikasikan potensi mereka dan menciptakan peluang-peluang untuk mengembangkan dan mempergunakannya, berarti hal itu sudah membangun pada sebuah dasar yang kokoh. Mengomunikasikan potensi orang dan membuat mereka merasa berharga secara ekstrinsik (misalnya, dengan membandingkan diri dengan orang lain di bawah mereka) adalah dasar yang buruk, dan potensi mereka tidak akan pernah bisa optimal.

Sebenarnya ada lima hal yang ditawarkan dalam konsep kepemimpinan Stephen R. Covey yakni pertama; Pengembangan secara utuh, artinya dibutuhkan seorang pemimpin yang berkepribadian yang utuh dan berkarakter, minimal dapat mengelola atau mengorganisasikan kelompok yang kecil seperti keluarga. Kedua, pribadi utuh, mendayagunakan seluruh potensi yang ada dan mengoptimalkan daya spiritual dan naluri untuk menjadi kepribadian yang utuh dan selaras. Ketiga, prinsip-prinsip yang abadi, nilai-nilai yang universal perlu diciptakan dan dikondisikan dalam diri sang pemimpin. Kasih sayang, anti kekerasan dapat menjadi prinsip abadi yang tidak pernah luntur. Keempat, pilihan (kewenangan moral), Jati diri seorang pemimpin dapat dilihat dari tindakan dalam kebijakannya. Kelima, 4 peran kepemimpinan; runutan kelima ini menjadikan kriteria pelengkap dan terpenting, bahwasanya diri seorang pemimpin diusahakan dapat menjadi panutan, perintis, penyelaras, pemberdaya. Ini artinya kelima kriteria ini dapat menjadi elemen penting yang mendasari pemikiran dan hati seorang pemimpin.

Mengagumi Muhammad Gandhi, ialah seorang pemimpin yang abadi. Sepertinya belum ada yang dapat menyamainya. Belajar dari Gandhi mengenai tujuh dosa sosial, Gandhi banyak melahirkan idiom-idiom yang membuat orang tercengang, seperti Anda mesti menjadi perubahan yang Anda ingin saksikan”. Atau kebesaran suatu Negara harus didasarkan pada penduduknya yang paling rentan/lemah. Kita butuh pemimpin seperti Gandhi yang tidak hanya berkata-kata, tapi ada digardu depan dalam membela kebenaran. Menurut Indra Gunawan (pemerhati budaya kepemimpinan) dalam tulisannya di kompas (30/9/09) ini, menjelaskan bahwa zaman yang kelabu saat ini, relevansi ajaran Gandhi menjadi bertambah kuat. Di tengah kebimbangan, dia dapat menjadi bintang petunjuk yang memberi arah yang tepat.

Bukan maksud mengikuti arus, tetapi ini gerakan hati turut mendukung adanya tauladan dari Gandhi yang dapat dijadikan contoh bagi para pemimpin saat ini. Namun sumbangsih penulis terhadap pemimpin saat ini ialah perlu adanya sentuhan kreatifitas yang menjadi karakter seorang pemimpin dimana terdapat karakteristik keberanian dalam menghadapi persoalan, membuat keputusan yang membawa kebermanfaatan, serta cukup berbeda tidak menjadikan kelemahan baginya, namun menjadi kekuatan dan bola salju bagi kebermaknaan hidupnya.

Selain itu, salah satu ajaran logoterapi mengenai eksistensi manusia dan makna hidup menurut Victor Frankle juga menyebutkan bahwa hidup bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga  nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (eksperiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values). Kendati demikian nilai-nilai kreatif dan penghayatan lainnya merupakan dapat mengubah diri menjadi pribadi yang dapat memaknakan hidup sebagaimana mestinya.

Akhir kata, semoga nasionalisme keindonesiaan kita tetap mengakar pada setiap warga negara. Bukan pada hal yang simbolis, melainkan lebih pada pikiran-aksi-kebiasaan-karakter manusia Indonesia. Karena kita meyakini bahwa pemimpin yang sukses bukanlah memperbanyak pengikutnya, tetapi memperbanyak calon pemimpinnya. Inilah paradigma yang mesti dibangun untuk merajut nasionalisme keindonesiaan kita menjadi lebih berarti. Dengan demikian, semangat para pemimpin untuk berkreatifitas bukanlah euforia belaka. Semoga!



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun