Mohon tunggu...
Nining Iswati
Nining Iswati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Aisyiyah Yogyakarta

Akun ini di buat untuk mengerjakan tugas tugas kuliah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontribusi Masyarakat dalam Penegakan Anti Korupsi

25 Juli 2022   14:57 Diperbarui: 25 Juli 2022   15:26 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masyarakat sipil memiliki peran kunci dalam memerangi korupsi. Masyarakat sipil, pada akhirnya, adalah pihak yang paling terkena dampak korupsi. Oleh sebab itu, masyarakat memiliki kepentingan yang besar berkenaan dengan pemberantasan korupsi. Adapun peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut: Masyarakat sebagai Pemegang Kedaulatan Tertinggi Konstitusi negara Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat dan wajib dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. 

Kedaulatan adalah suatu konsep mengenai kekuasaan tertinggi (Jimly Asshiddiqie, 1994: 22). Jean Jacques Rousseau dalam Salam (2012) juga mengemukakan pendapat yang sejalan dengan UndangUndang, yaitu bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, yang diserahkan kepada Pemerintah itu hanyalah kekuasaan untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Dalam konteks negara demokrasi, kita mengetahui bahwa kekuasaan pemerintah itu diberikan oleh rakyat kepada seseorang lewat pemilihan umum. 

Oleh sebab itu, baik atau buruknya pemerintah yang berkuasa sangat bergantung pada masyarakat itu sendiri. Termasuk dalam hal eksistensi korupsi di Indonesia juga ditentukan oleh masyarakat yang memilih pejabat-pejabat negara. Akan menjadi sangat aneh dan tidak konsisten apabila masyarakat menginginkan punahnya korupsi, namun tidak ikut serta dalam pemilihan umum. Sehingga pada akhirnya, pemimpin yang lahir tidak sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga memperbolehkan mantan terpidana kasus korupsi untuk kembali menyalonkan diri sebagai pejabat negara. Hal ini menandakan bahwa ada tidaknya peluang korupsi oleh pejabat negara sangat ditentukan oleh masyarakat. 

Tanpa mengesampingkan peluang betobatnya koruptor, masyarakat perlu mempertimbangkan dengan serius mengenai terpilihnya kembali mantan koruptor menjadi pejabat negara. Hal ini mengingat kepercayaan yang diberikan masyarakat justru dihancurkan dan tanpa ada rasa malu justru meminta kembali kepercayaan tersebut. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kekayaan negara yang dikorupsi belum tentu telah seutuhnya dikembalikan. 

Belum lagi kerugian non materil yang ditimbulkan atas korupsi yang dilakukan ketika itu, seperti melambatnya pengentasan kemiskinan serta pembiayaan negara lainnya yang tertunda. Adapun dalam rentang waktu 14 tahun, mulai dari tahun 2004 hingga 2018, jumlah orang yang terjerat kasus tindak pidana korupsi terbanyak dilakukan oleh anggota DPR/ DPRD, yaitu sebanyak 229 orang.


Masyarakat sebagai Pencegah
Selama ini, pendekatan pemberantasan korupsi yang dijalankan pemerintah Indonesia, lebih cenderung ke arah represif. Hal ini juga merupakan paradigma yang berkembang di masyarakat, bahwa pendekatan tersebut dinilai sebagai upaya yang efektif untuk menimbulkan efek jera. Namun faktanya, praktik korupsi masih terjadi secara massif dan sistematis, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, BUMN atau BUMD maupun dalam sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan strategi preventif secara komprehensif oleh seluruh lapisan masyarakat, diantaranya strategi edukatif. Strategi edukatif adalah upaya pemberantasan korupsi dengan mendorong masyarakat untuk berperan serta memerangi korupsi sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing. 

Masyarakat perlu proaktif menanamkan nilai-nilai kejujuran serta kebencian terhadap korupsi melalui pesan-pesan moral serta pendidikan etika mulai dari tingkat sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi sedini mungkin sehingga budaya korupsi yang tumbuh dan berkembang menjadi sebuah budaya yang buruk di mayarakat diharapkan dapat berkurang dan melahirkan generasi penerus bangsa dengan integritas yang tinggi dan jiwa anti korupsi. Secara lebih konkret dapat dilakukan dengan pertama-tama mengenalkan dan memberikan pengertian untuk tidak melakukan perilaku koruptif dalam keseharian, yaitu dengan misalnya datang dan pulang sekolah tepat waktu, tidak menyontek, serta disiplin. 

Tindakan pencegahan akan mempunyai dampak positif terhadap proses pemberantasan korupsi, seperti yang telah disampaikan oleh Pradiptyo (2009) dalam Alfaqi dan Habibi (2017) bahwa pencegahan dan tindakan preventif akan lebih bermanfaat dalam mengatasi permasalahan korupsi daripada dengan melakukan tindakan sanksi hukum yang tinggi.


Masyarakat dalam Co-Government Peningkatan kemampuan masyarakat agar menjadi aktif sangat diperlukan. Selama ini, selalu tersedia anggaran untuk investasi dalam bidang human capital dan physical infrastructures, namun penyediaan peraturan perundang-undangan dan anggaran pemerintah yang secara rutin mendukung kegiatan kelompok dalam masyarakat (social capital) untuk memerangi korupsi tidak dianggap prioritas dan justru dianggap berbahaya. 

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Sujatmiko (2002) yang menyatakan bahwa dibutuhkan keadaan di mana sebagian dari masyarakat (infrastruktur) atau civil society organizations baik di pusat dan daerah didukung dengan peraturan dan anggaran serta terintegrasikan secara komprehensif dan permanen dengan negara (suprastruktur) dalam menjalankan pemerintah. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas mekanisme checks and balances pada suprastruktur (oleh legislatif dan yudikatif terhadap eksekutif). 

Mekanisme ini dapat disebut co-government dan dalam bidang pembangunan maka upaya sinergi ini disebut co-production dimana pemerintah bekerja sama (complementary) dengan swasta dalam menghasilkan produk atau jasa. Sebenarnya dukungan peraturan dan anggaran untuk kelompok masyarakat ini dapat merupakan investasi untuk membuat "alarm" yang mencegah bencana korupsi. Lembaga yang perlu diprioritaskan adalah lembaga pengawas eksekutif, parlemen, pemantau yudikatif, transparansi anggaran, anti korupsi, pengawas kekayaan, dan pemantauan hak asasi manusia. Melalui penggunaan pola seperti ini, setiap tindakan penyelenggara negara yang berpotensi korupsi dapat dipantau secara terus-menerus oleh jaringan lokal, nasional, dan global dari co-government tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun