Mohon tunggu...
Nining Iskandar
Nining Iskandar Mohon Tunggu... Penulis - wirausaha

penulis dan konten kreator

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Fenomena Pergantian Menteri

8 November 2024   11:06 Diperbarui: 8 November 2024   11:27 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Indonesia..kembali pada pergantian kepengurusan negara. Pergantian menteri pendidikan selalu menjadi primadona bagi perkembangan perbincangan akhir-akhir ini. Setelah Nadiem digantikan oleh menteri pendidikan yang baru Prof. Abdul Mun'im..diharapkan kancah pendidikan nasional menjadi lebih berisi daripada sebelumnya. 

Banyak masyarakat yang wira wiri di media sosial menyerukan untuk kembali kepada kurikulum KTSP, tetapi tentunya tidak semudah kita menambahkan atau mengganti menu makanan. 

Perlu waktu dan survei yang berkesinambungan agar dapat mencapai hasil yang diinginkan. 

Tetapi menurut saya, rencana perubahan seperti yang diberitakan selama ini  akan berdampak pada kebingungan orangtua siswa dan terutama guru yang (perasaan baru belajar memahami Kumer, eh ini udah ada rencana ganti lagi) juga akan membuat repot. Belajar kembali dari awal untuk kembali menyesuaikan dengan perubahan baru.

Untuk peraturan yang harus dilakukan secara teknis sih saya setuju seperti PPDB ditiadakan, tetapi untuk yang lainnya sepertinya kementerian juga harus melihat sisi dari program keahlian yang diperuntukkan bagi siswa.

Selama ini kita hanya melihat dari sisi nilai..kembali mengingat tulisan saya sebelumnya mengenai type siswa dalam belajar, yaitu type peraih nilai (akademis) dan type peraih prestasi dengan dasar bakat yang dimiliki (non akademis).

Rata-rata masyarakat Indonesia masih melihat bahwa nilai merupakan tolok ukur untuk sebuah prestasi, sementara hobi yang berdasarkan pada minat dan bakat juga mempunyai potensi tersendiri. Nilai yang didapat dari prestasi non akademik rasa-rasanya juga perlu mendapat tempat yang khusus di hati masyarakat Indonesia.

Karena kesiapan kerja di dunia persaingan dalam perjuangan mempertahankan hidup akan lebih memerlukan keahlian non akademik. Seseorang dapat bertahan hidup tidak dengan nilai seperti raport di sekolah, tetapi lebih kepada nilai kemampuan mengembangkan kreativitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun