Mohon tunggu...
Nining Angreani
Nining Angreani Mohon Tunggu... -

Young Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Tentang Seseorang

24 Desember 2013   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentang Seseorang

Oleh Nining Angreani (419)

Tentang Seseorang Pemilik Rahim

Aku dilahirkan di ruang gelap yang dipenuhi zat kimia. Sesak dalam gelapnya ruang tanpa lampu. Hingga aku terlahir dari rahimmu. Kau hanya menganga dan mengucap syukur. Peluh dengan ketergantungan yang dipenuhi dengan kesesatan. Mungkin kau hanya menatapku datar.

Ibu, tahu? Hari itu aku mengadu sama Tuhan.

“Ya Allah, Terimakasih telah menghadirkanku di dunia ini.”

Aku sudah terikat janji dengan Allah, Bu. Dari awal aku sudah menerima keadaanku seperti ini. Aku ingin sekali melihat dunia. Tapi, disaat aku berjanji dengaNya aku memikirkanmu. Apakah kau akan menerimaku dengan keadaan seperti ini? Aku takut kau akan malu mempunyai anak sepertiku.

Mungkin pada saat itu kau berucap “Bagaimana nasib anakku jika sudah besar?”

Sekarang aku ingin menjawab pertanyaan yang tak sempat terjawab itu. Tapi, hanya dengan tulisan yang kubuat ini.

“Aku akan baik-baik saja. Tenanglah!”

Atau dugaanku salah? Mungkin kau berkata seperti ini “Dia tidak akan meraih mimpinya jika kondisinya seperti ini”

Jika pertanyaanmu seperti itu, aku takkan menjawabnya. Biarlah angin yang membisikkan ketelingamu suatu saat nanti. Atau suratku yang akan melantunkan kata yang mampu membuat bibir kakumu itu tersenyum haru. Ini adalah pertama kalinya aku menulis surat untukmu, Ibu.

Aku bahagia sudah terlahir dari rahimmu.

Tentang Seseorang yang Memperlakukanku dengan Normal….

Tak pernah kusangka. Kau memperlakukanku seperti anak pada umumnya. Membiarkanku mengelilingi dunia ini. Membawaku bersosialisasi dengan orang-orang sekitar. Tanpa menghiraukan seseorang yang tertawa, terbengong, dan terharu melihatku.

Kukira aku akan duduk termenung di ruang kubus ini. Menunggu makanan, menunggu kau memandikan dan menggantikan pakaianku. Bahkan menunggu kau mencebokku tanpa rasa jijik. Tapi, kau membiarkanku untuk melakukannya dengan sendiri. Tanpa bantuanmu.

Kau pasti ingin, membuatku mandiri kan?
Ya! Setiap ibu ingin melihat anaknya mandiri.

Aku masih ingat, ketika kau bercakap dengan teman sebayamu.

“Kau masih saja membelikan dia peralatan sekolah. Apa kamu yakin?”

“Iya, aku yakin. Anakku itu bisa nulis. Otaknya mudah mencerna pelajaran.”

Aku masih ingat dengan kata-katamu, Bu. Dan dari sanalah aku mengambil kesimpulan bahwa aku bias bersekolah dengan kondisi seperti ini. Akan kutunjukkan oleh semua orang yang telah meremehkanmu, bahwa anakmu mampu meraih kesuksesan di dunia ini.

Aku adalah anak yang sangat beruntung. Bisa terlahir dari rahimmu. Bersama denganmu saja aku sudah bahagia. Apalagi jika membahagiakanmu suatu saat nanti. Bersabarlah menunggu keberhasilanku, Bu.

Aku bahagia, ketika kau membanggakanku di depan semua orang. Seolah-olah aku anak yang normal.

Teruntuk Seseorang yang Menelan Ludah

Mungkin kau sudah berada di titik jenuh, namun kau masih mampu menahan amarah itu. Aku yakin ketika kau melihatku di tertawakan oleh orang-orang kau hanya bias tersenyum sambil memegang lenganku. Mengikuti arah kaki yang lunglai.

Entahlah, seberapa banyak ludah pahit yang kau telan selama ini? Dan seberapa banyak malu yang selalu kau sembunyikan di simpul bibirmu? Kuharap kau takakan pernah melepas peganganmu dari tubuh lemasku ini.

Aku butuh peganganmu disaat aku menelusuri jalan setapakku. Memberiku penerangan di saat aku dalam kegelapan gulita malam. Dan memberiku pengarahan disaat aku salah, serta kehadiranmu disaat aku termenung di sudut kamarku.

Teruntuk Seseorang Ibu.

Ibu, andai saja bintang mampu diraih, akan ku berikan untukmu. Sebagai pengganti sewaktu kau menerangiku disaat aku belajar. Tapi, bintang tak mampu kupetik. Sebagai gantinya, aku hanya bisa memberimu doa-doa yang mampu menerangimu nanti.

Ibu, andai saja aku matahari akan kutemani kau sepanjang hari. Tanpa malam. Tapi, aku bukan matahari yang akan selalu menemanimu. Hanya dzikirku yang menemani suatu saat nanti.

Ibu, kau perempuan rupawan. Bernada lirih.

Ibu kau perempuan tangguh. Berbaju baja.

Ibu kau perempuan surga. Berlapis cahaya.

Kilas Kenangan….

Ibu, aku tahu kau menyembunyikan banyak hal di dirimu. Namun wajahmutak mampu menutupinya. Aku selalu bertanya tentang diriku yang tak seperti mereka. Tapi kau menenangkanku.

Aku masih ingat, hari itu aku pergi bersamamu di bank. Di saat menunggu giliran ada anak sebaya denganku menatapku dengan terbengong. Aku juga masih ingat dengan perkataannya.

“Kamu kenapa? Kok ludahnya tumpah terus?”

“Iya, memang seperti ini.” Jawabku datar

“Kokkalau kamu biacara ludah kamu juga keluar?”

“Aku sakit.”

“Sakit apa? Kamu gak bisa duduk tenang yah? Kok dari tadi kaki dan tangan kamu goyang terus?”

“Aku lagi sakit.”

Kau hanya mengusap kepalaku dan tersenyum.

Sampai sekarang aku tidak menegrti dengan senyuman itu.

Ibu, aku juga masih ingat ketika ada anak lelaki yang menghampiriku di dekat rumah.

“Kamu kok jalannya begitu? Kamu belum bisa jalan yah?”

Aku hanya diam, dan memilih untuk masuk rumah saja.

Di kamarku, aku menangis.

Aku tidak bisa menahan ejekan-ejekan mereka yang membuat perasaan dan otakku kacau. Aku seperti orang yang kerasukan. Mengobrak-abrik pakaian, boneka, dan peralatan mainanku.

Sesekali aku bersimpuh dan memukul mukul kakiku.

“Tuhan, aku tidak kuat lagi.”

Melihatku seperti ini, kau terdiam dan duduk diampingku. Kau mengusap ubun kepala dan memelukku. Aku mendegnar isakan tangismu untuk pertama kalinya.

“Bersabarlah nak.”

“Ibu, aku tidak kuat lagi.”

Mendengar perkataanku, nada tangisanmu semakin meninggi.

Aku sangat benci situasi itu. Aku sudah sangat berdosa karena sudah menjatuhkan air mata yang seharusnya tak boleh kau keluarkan. Ini semua salahku. Aku yang egois, tak pernah memikirkanmu seberapa tegarnya kau mendengar perkataan orang lain tentangku.

Sedangkan aku? Baru begitu saja, nyali sudah ciut. Aku sangat mudah rapuh. Kau ibu setegar batu karang. Berjiwa besar dan behati emas.

Teruntuk Hati yang Terluka….

Ibu, aku tahu aku tak dapat berucap dengan fasih. Tapi kau memberiku penerangan terus menerus. Member solusi disetiap aku menemukan jalan buntu di diriku sendiri. Meluruskan setapakku. Dan disaat aku ingin memberikan puisi untukmu, aku hanya bisa menulisnya di buku harian yang kau berikan untukku.

Tak ada kata yang mampu terucap, tulisanpun jadi.

Tak ada tindakan yang bisa kulakukan, doa dan dzikir tertuju padamu.

Jiwa yang berkecamuk.

Menjelma serupa cahaya di siang hari

Berupa nada lirih yang bergetar

Serupa kicauan burung kehidupan

Disaat embun ingin terjatuh dari bibir

Kau menunggu dengan tangan

Disaat pijakan bergoyang

Kau memberiku perasut untuk terbang

Sungguh indah ciptaan tuhan

Kau ibu yang terlahir dari rahim yang sangat mulia

Ibu, aku tahu kau mnyimpan buku tua di dalam matamu. Namun kau tak mampu membukanya. Karna kau takut, jika buku tua itu terbuka lembaran itu akan robek. Jadi kau hanya memilih untuk menyimpannya rapt-rapat.

Ibu, aku tahu isi buku itu. Tentang aku kan? Sejarah tentang, bagaimana aku bisa seperti ini. Mungkin kau bertanya, dari mana aku tahu? Dari percakapanmu dengan teman doktermu.

Aku tahu, sewaktu kau mengandungku aku terlalu banyak menghirup zat-zat kimia disaat kau menjadi guru di salah satu sekolah menengah atas. Zat-zat kimia itu yang membuatku seperti ini. Tapi aku tak menyalahkan zat-zat kimia itu.

Karena Tuhan, memang sudah merencanakan bentukku. Dari awal!

Tak perlu menyesal akan itu, Bu. Aku tahu kau menimang kesengsarahan di punggungmu. Tapi dengan tegarnya kau tersenyum tanpa mnghiraukan berat yang telah merajalela hingga membuat kepalamu beruban.

Tak perlu risau di saat kau menatapku. Tak perlu cemas di saat kau melihatku berjalan, aku tidak akan jatuh dengan kakiku ini. Meskipun aku jatuh, luka itu tidak akan terasa. Itu sudah biasa, Bu.

Bu, menataplah kedepan. Jangan dengarkan omongan orang lain tentangku.

Tentang: aku tidak akan bisa meraih mimpi dengan kondisiku.

Siapa bilang? Dia bukan tuhan yang mengatur garis takdir di tanganku.

Akan kutunjukkan, betapa beruntungnya diriku mempunyai ibu sepertimu. Ibu yang selalu menyamakanku dengan anak-anak lainnya. Tidak memandangku dengan sebelah mata. Membiarkanku tumbuh dan berkembang dengan kemandirian yang kau tanamakan sejak kecil di diriku. Terima kasih, untuk rahimmu, Ibu. Terima kasih untuk semuanya.

Teruntukmu Penghuni Surga.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community [http://www.kompasiana.com/androgini]

·Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun