Duduk sarapan di Crescent Hawker Center bersama suami, harga baru yang dulu kulihat tahun pertama tinggal dan menetap di Singapura, tidak lagi nampak. Dulu, ada harga $4, $7, dan $8 di setiap gambar makanan, tapi setiap kami order makanan, harga selalu di atas $7 atau $8 untuk satu porsi. Mahalnya, pikirku saat itu. Padahal, separuh pun tidak habis. Buang.
Dulu, aku ingin menangis, setiap hari, setiap kali makan, dua pilihan selalu menghantuiku: habiskan, dengan resiko perut overload, bakal tidak sehat, resiko gemuk, tidak nyaman di badan, dll dsb etc., tapi, tidak membuang-buang makanan, tidak mubazir, tidak menyia-nyiakan makanan, tidak dikutuk Allah atau agama yang kuyakini, tidak menyakiti hati penjual, tidak menghina orang-orang yang kesulitan makan, tidak menyakiti hati orang-orang yang kelaparan, dan tidak dikutuk bumi.
Pilihan kedua: saya tidak perduli, biarkan saja. Beli satu porsi, makan sepertiganya, dua-pertiganya buang. Tak perduli yang lain-lain, toh uang-uangku sendiri, perut-petutku sendiri. Makanan, bumi, orang lain, Tuhan, tak perlu dipertimbangkan, yang menderita biar menderita, yang curang biar curang. Tapi kemudian, Alhamdulillah, sekarang, setelah dua tahun tinggal dan menetap di Singapura, harga makanan kembali ke $4. Syukur Alhamdulillah, Singapura negara kaya, negara yang apa-apa mahal, yang bikin orang menderita di lain sisi, bisa menghargai makanan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H