Kini Swastamita meremaja beranjak dewasa. Ia tak pernah mengenal cinta. Tak juga keluar dari singgasana. Hanya berteman sepi di tepian telaga. Seorang mantan baby sitter setia menemani hari-harinya. Karena iba, tentu saja.
Ya, si cantik Swastamita penyandang tunarungu yang tak terobatkan karena kakek nenek buyut keburu pulang ke rumah baka. Hanya swastamita yang disukai Mita. Itu karena dunianya sepi tiada bersuara. Sesepi hati dan hidupnya.Â
Ia tersenyum, tertawa, dan menatap nanar ujung seberang telaga. Barangkali di sana ada lubang raksasa yang bisa menelan dan mengantarnya berjumpa orang-orang tercinta.
Tanpa suara, sang baby sitter -- satu-satunya orang yang tersisa-- menggandeng lengan Mita dengan lembut dan mesra.
"Kita pulang, ya, Sayang. Senja hampir berakhir, matahari telah turun ke peraduannya!"Â
Dituntunnya si cantik dengan langkah tertatih, sebab ia pun cukup renta. Mereka: dua wanita sebatang kara dalam bayang senja. Berdua dengan si pengasuh renta nan setia. Tak ada purnama, tanpa suara. Gelap pun menjelang tanpa cahaya. Cuma kelap-kelip pelita tanpa daya, apalagi gaya.Â
Malang, 14 Desember 2024
Â
Mencoba berkreasi dengan rima di akhir kata (setiap kalimat harusnya). Prosa tetapi mengandung rima sebagaimana puisi. Zaman sekolah dulu disebutnya prosa liris. So, bagaimana? Ternyata tidak mudah juga. Hebat loh sastrawan yang menuliskan Sabai nan Aluih ... siapa, ya ... aku lupa. Apa Tulis Sutan Sati, ya ...
Di rumah ayahku nan gadang, berceruk-ceruk gelap itu, beranjung ke sana, beranjung kemari, besarlah aku seorang diri ... lanjutannya? Lupa ... haha ... wong enam dasawarsa silam, sihÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H