Sang kakek dan nenek pun dengan waskita tanggap akan permasalahan cucu tercinta. Mereka ajak Lupita hijrah ke desa di pinggir telaga. Mengasingkan diri dari keramaian kota. Hingga bayi lahir tanpa cacat cela.
Si bayi mungil lahir di senja kala, ketika swastamita jingga sedang merona. Semesta seolah menerima kehadirannya dengan sukacita surga.
"Cantiknya cicitku!" seru sang nenek bahagia.
"Ah, jingga penuh pesona," ujar sang kakek menggendong sang cicit tercinta.
"Kita serahkan bayi mungil ini pada-Nya biar dijadikannya sempurna," seru kakek nenek spontan dalam rona bahagia.
"Swastamita!" lirih Lupita.
"Oh, nama yang indah!" seru nenek menciumi si orok dengan bangga dan bahagia.
***
Sebulan setelah lahiran Lupita kembali ke kota. Ditinggalkannya bayi mungil bersama sang buyut beserta seorang baby sitter yang digajinya. Sebulan, dua bulan, hingga setahun ... tak juga dikunjungi si baby jelita. Bahkan, pada tahun ketiga berita duka didengar kakek nenek melalui telegram kilat dari pos kantor desa. Lupita dan kedua orang tua tercinta tewas dalam kecelakaan pesawat udara. Mereka bukan hendak berwisata, melainkan hendak ziarah panggilan agama.
Hanya tangis sedih mengiringi doa karena kakek dan nenek pun tidak bisa pergi ke kota. Memang, diterima juga santunan jasa raharja, tetapi tidak mengembalikan jasad putra, putri, dan cucunya. Kedua pasangan buyut hanya berpasrah dalam duka.
***