Giwang Agogo Bermata Ungu
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Unin sulung dari sepuluh bersaudara, tetapi sejak kecil diasuh dan dibesarkan kakek neneknya. Kepada ibu kandung, Unin tidak memanggil ibu, tetapi Mbak sebab  dianggap anak bungsu kakek nenek. Nenek sambung itu begitu protektif terhadapnya. Siapa pun yang mengusik keberadaannya sebagai cucu angkat, beliau menyingsingkan lengan baju, pasang badan untuk menentang. Karena  itu, Unin percaya bahwa  ia  anak bungsu, bukan sulung!
Setelah  kelahirannya, sang ibu menikah lagi dan selanjutnya hampir dua tahun sekali  memiliki bayi.  Ketika  berusia sepuluh tahun,  Unin memiliki empat orang adik seibu. Namun, daun telinga Unin belum ditindik. Rambutnya panjang sepinggang, tetapi tidak bergiwang karena belum ada lubang. Bersamaan adik bayi putri kelima ibu kandunglah, Unin ditindik. Karena itu, hasilnya kurang memuaskan. Lubang  tindikan tidak simetris. Saat adik perempuan ketiga dibelikan dan dipasangkan giwang agogo dengan permata ungu lucu, Unin sangat menginginkannya. Namun, ia tidak bisa meminta. Sampai mengigau Unin mendambakan giwang seperti itu, tetapi tidak pernah tersampaikan. Â
Sejak bertindik, belum sepasang giwang pun mengisi lubang itu. Sang nenek berinisiatif memasangkan giwang kriul, tetapi karena salah tindik, hasilnya jelek sekali. Tidak simetris! Kekecewaan hatinya berlanjut hingga usia senja. Unin menceritakan kekesalan masa kecil itu dalam reuni bersama si adik. Mereka  bertangisan. Kedua wanita seibu itu sama-sama tak tahu-menahu! Mereka tergugu dalam pilu. Cemburu  menyerbu gegara ketidakadilan perlakuan ortu.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H