Hukum Tabur Tuai
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Empat tahun bergulat dengan dunia perbukuan, kupetiklah dampak positif: Â memiliki sekian buku karya pribadi dan antologi. Bersyukur banget. Cita-cita sejak kecil tak hanya menggemari baca buku, ternyata mengantarku menjadi penulis. Anugerah tak terduga. Ingin kulakukan safari hibah buku ke sekolah masa kecil di desa. Setelah sekian jumlah telah kuhibahkan ke perpustakaan umum dan almamater perguruan tinggi tempat menimba ilmu, berangkatlah meluncur desa asal.
Secara manusia melihat nominal harga buku  tak sedikit, kalau  itung-itungan lumayan mahal juga. Namun, demi apa kulakukan? Gengsi, harga diri, prestisius?  Tidak! Bukan kesombongan, melainkan berburu kepuasan dan kelegaan! Murni ucapan syukur dan tanda kasih atas berkat yang kuterima masa lalu. Bisa sekolah dan kuliah berbeasiswa, apa yang dapat kulakukan kini kalau tidak sedikit berbagi buku dan ilmu? Berjalan pulkam bersama pendamping dengan estimasi dana sekitar sejutaan.
Dilematis karena dua alternatif jalur bisa kutempuh. Lewat jalur utara, singgah di rumah adik, lalu mengajaknya ke SD, SMP, dan SMA. Atau kebalikannya, melalui jalur selatan menuju sekolah dulu: SMA, SMP, SD baru  singgah. Ternyata, Allah pilihkan jalur kedua. "Mbak, maaf. Sampai berbau ini saking lamanya!" disodorkanlah amplop berisi pembagian warisan penjualan rumah kakek nenek. Kaget, terharu, sungguh tak kusangka! Hukum tabur tuai itu  nyata! Setelah hibah, Allah sediakan berkah pengganti BBM, sopir, dan buku yang telah dihibahkan ikhlas! Pas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H