Pulang
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Ia mengintip isi dompetnya yang hanya tinggal sedikit. Uang itu jelas tak cukup untuk belanja keperluan sehari-hari. Sebagai pemulung, ia berusaha keras untuk tidak meminta-minta. Bayinya membutuhkan susu formula, kebutuhan yang tak bisa diabaikan. Dengan sisa uang yang ada, ia mengganti bahan pangan pokok dengan yang lebih murah. Beras diganti dengan singkong dan ia mencari sayuran rempesan di pasar induk, serta telur-telur apkir yang masih bisa dibeli murah. Terpaksa begitu, karena ia tidak sepenuhnya janda, tapi juga bukan sepenuhnya bersuami. Suaminya masih ada, tetapi tak hadir untuknya dan anaknya. Sudah lama ia tidak mengunjungi suaminya di dalam penjara.
Suaminya mendekam di sel karena menjadi orang suruhan seorang bos pebisnis barang haram. Kini, masa tahanannya hampir habis, tetapi ia tahu suaminya tak akan pulang membawa uang sepeser pun. Pikiran suaminya pasti sedang kalut, memikirkan bagaimana mendapatkan uang secara instan. Pekerjaan sebagai tukang parkir hampir mustahil didapatkan karena lahan parkir dikuasai preman. Mengemis? Masih ada harga diri yang tersisa.
Setelah dibebaskan dari bui, beberapa orang melihat suaminya duduk termenung di pos persimpangan kereta api dekat Lavallete. Sebelumnya, lelaki itu berjalan kaki dari Lembaga Pemasyarakatan karena tak punya uang untuk transportasi. Bisa jadi ingatannya terbang pada anaknya yang mungkin sudah besar sekarang. Bagaimana ia akan menafkahi keluarganya? Hatinya kalut, pusing, dan kantongnya kosong. Ketika bunyi alarm penanda kereta lewat terdengar, penutup lintasan mulai turun. Menurut beberapa orang yang melihat kejadian itu suaminya tampak berlari menyeberang. "Maafkan aku, istriku. Maafkan Bapak, Anakku." Serunya, sebelum tubuhnya remuk dilindas roda kereta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H