Antara Adik dan Kakak
Sore itu setelah menyiapkan makan malam, Meylina melapor pada bundanya hendak belajar dengan meminta bantuan anak indekos. Beberapa hari lalu Kak Klana pernah mengajaknya bertanya kepada Kak Bagus, dia bertanya kepada sang bunda apakah diizinkan untuk bertanya lagi.
"Coba tanyakan dulu apakah Kak Bagus sibuk atau tidak. Kalau sibuk, carilah yang lain, yang tidak sibuk, ya, Nak!"
"Siap Bunda."
Ketika makan malam bersama kedua kakaknya, Lina mencoba bertanya apakah mereka bisa membantunya untuk membuat contoh puisi lama. Namun, kedua kakaknya itu tidak bersedia membantu.
"Aku juga sibuk mengerjakan PR, Dik. Apalagi aku enggak begitu suka dengan pelajaran itu, enggak yakin bisa membantumu! Maaf, ya!" jawab Lani mengelak.
"Kalau Kak Klana, bagaimana? Bisa bantu Lina, enggak?"
"Hmmm ... jangan ke Kakak, ya Dik. Nanti yang ada malah salah!" protesnya mengelak.
"Ya, sudah. Coba ke paviliun sana. Tanyakan siapa yang bisa membantumu, Nak!" usul sang bunda.
"Waduuhhh, ... jangan-jangan Lina diajari Kak Bagus!" batin Lani ingin menghentikan langkah adiknya itu.
"Kayaknya Kak Bagus enggak ada, deh, Dik! Soalnya tadi siang bilang ada acara!" ujar Lani yang berusaha agar si adik tidak mendekati lelaki idaman hatinya itu.
"Loh, kok aku enggak rela kalau Kak Bagus dekat dengan adikku, ya? Kenapa aku ketakutan begini?" rintih hatinya.
"Oh, ya sudah. Nggak apa-apa. Aku akan cari jawaban lewat internet saja. Pasti bisa!" jawab Lina pasrah.
"Ya, coba saja dulu, Lin. Mau Bunda antar ke sebelah?" ajak bundanya.
"Kalau Bunda berkenan, dengan senang hati Lina ikut!"
Beberapa saat setelah makam malam usai, dengan senang hati sang bunda mengantar bungsu mencari seseorang yang bisa membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka berdua naik ke lantai dua paviliun sambil melihat-lihat kamar yang menyalakan lampu. Artinya, kamar tersebut berpenghuni.
Dilihat lampu kamar Bagus menyala. Dengan demikian, sang bunda mencoba mengetuk pelan pintu kamar jejaka tersebut.
"Halooo ... adakah penghuninya kamar ini?" canda bunda saat mengetuk pelan pintu kamar Bagus.
"Hahaha ... ada, Bunda!" sambut penghuninya.
Sambil membuka pintu kamar, Bagus bertanya, "Ada yang bisa Bagus bantu, Bund?"
"Ini loh adikmu hendak bertanya PR-nya. Mengganggu, enggak?"
"Oh, bisa. Sebentar kita ke ruang diskusi saja, ya Dik!" sahut anak indekos idola para gadis tersebut.
Sesaat kemudian, sang bunda izin turun ke ruang dapur hendak mengambil sesuatu. Sementara, Lina menanyakan materi pelajaran yang tidak dipahaminya. Kali ini materi Bahasa Indoonesia, tepatnya puisi lama.
Kebetulan Bagus sangat menguasai materi itu. Dengan demikian, dia bisa mengajari si bungsu dengan begitu jelas.
"Dik, puisi itu wujudnya seperti ini," kata Bagus sambil menunjukkan contoh puisi di laptopnya. Bagus sengaja mengambil contoh-contoh dari internet.
"Puisi itu ditulis ke arah bawah, ya Dik. Beda dengan prosa. Yang ini contoh prosa, misalnya artikel. Prosa itu ditulis berparagraf-paragraf ke samping, bukan ke arah bawah. Adik paham?" tanyanya sambil menjelaskan dengan berbagai contoh.
"Iya, Kak. Lina ngerti!"
"Nah, puisi itu dipilah menjadi dua, yakni puisi lama dan puisi baru. Kalau puisi lama itu bentuknya terikat. Ada jumlah baris, jumlah kata atau suku kata yang ada di tiap baris, ada pula rima yang harus dipatuhi!"
"Rima itu apa, Kak?"
"Rima itu persamaan bunyi, Dik. Misalnya pada kata asal dan sesal, adakah bunyi yang sama?"
"Ada Kak, sal ... iya, kan? Asal ... sesal, sama!"
"Good!"
"Nah, yang ini pantun namanya. Coba kita cermati. Yang diminta gurumu adalah pantun jenaka. Berarti kita lihat dulu syarat pantun!"
"Tiap bait terdiri atas empat baris!"
"Good!"
"Tiap baris terdiri atas 4 atau lima kata!"
"Good!"
"Tiap baris terdiri atas 8 - 12 suku kata!"
"Nah, tepat!"
"Sampiran dan isi itu bagaimana, Kak?"
"Oh, coba perhatikan pantun ini ...
       Berasal dari Kecamatan Cilincing
       Naik angkot hendak ke Cibubur
       Nenek bertengkar dengan si kucing
       Ikan pindangnya dibawa kabur
 Nah, yang baris pertama dan kedua ini, kan menceritakan dari mana mau ke mana. Sementara, yang baris ketiga dan keempat itu isinya. Sebenarnya, yang penting isinya ini. Namun, diberilah dua baris dengan rima akhir yang sama. Dua baris inilah yang disebut sampiran itu. Enggak nyambung dengan isinya, sih ... tetapi rimanya sama. Coba perhatikan, baris pertama berakhir dengan ... cing, sama dengan baris ketiga, kan? Baris kedua berakhir dengan bur ... sama dengan baris terakhir, kan?"
"Oh, gitu! Iya, iya ... paham sekarang. Berarti kita harus membuat sampiran dulu, ya Kak!"
"Iya, enggak nyambung dengan isi tidak masalah. Yang penting rumus rimanya sama. Cuma begitu, Dik! Gampang, kan?"
"Ohh, ... bisa minta satu contoh lagi, kan Kak?"
"Baik, tunggu sebentar!"
"Siap!"
"Nah, ini dia Kakak dapat! Lihat nih ....
        Jeruk purut di tepi rawa
        Buah yang mungil belum masak
        Sakit perut karena tertawa
        Melihat balita sibuk berbedak
Bagaimana? Adik paham, kan? Coba nanti Adik buat sendiri, ya!"
"Kalau isinya begini ....
       Adik tertawa sambil menangis
       Melihat kambing berkacamata
Boleh enggak sampirannya itu begini ...
      Pergi ke kota membeli manggis
      Seikat belimbing dan semangka ...."
"Wah, boleh banget! Adik sudah bisa sekarang!"
"Jadi, hasil pantunnya begini, ya Kak ....
       Pergi ke kota membeli manggis
       Seikat belimbing dan semangka
       Adik tertawa sambil menangis
       Melihat kambing berkacamata ...."
"Iya, betul, Dik! Adik ini pandai sebenarnya. Diajari sedikit saja cepat bisa. Jadi, tinggal tingkatkan kerajinanmu saja, Dik!"
"Hmm, terima kasih banyak, Kak! Contoh yang dibuat Kakak boleh Lina pakai enggak?"
"Boleh, dong, Dik!"
"Nah, sudah, Kak. Lina sudah bisa. Terima kasih atas waktunya yang Kakak luangkan buat Lina. Semoga Tuhan yang membalas!" ucap Lina sambil beranjak hendak turun ke rumah induk.
Ternyata sang bunda menyusul dengan membawakan pisang molen buat Kak Bagus sebagai ucapan terima kasih telah berjerih lelah membantu Meylina mengerjakan pekerjaan rumahnya.
"Loh, sudah selesaikah?" tanya sang bunda.
"Sudah, Bun. Si adik ini pintar, loh Bun. Diajari sedikit saja cepet paham. Jadi, tinggal meningkatkan semangat dan kerajinannya saja menurut Bagus!"
"Wuahh, terima kasih banyak, ya. Kami tidak bisa membalas kebaikan Nak Bagus. Kami telah merepotkanmu dengan melibatkan pada setiap urusan kami. Kiranya Allah membalas kebaikan dan ketulusan hatimu, amin!"
"Amin. Bagus diterima di sini sebagai keluarga saja ... terima kasih banget, Bun. Mengingat orang tua jauh, mungkin tanpa adik-adik yang bertanya ini itu, Bagus bisa sangat kesepian. Makanya, jangan segan dan enggan bertanya, ya Dik. Pertanyaanmu itu menjadi penghibur dan pengobat kesepian Kakak."
"Pokoknya, Nak Bagus juga jangan segan, ya! Kalau ada apa-apa, terbuka saja dengan kami. Anggaplah kita bersaudara!"
"Siap, Bun. Terima kasih atas kudapan ini!" sambut Bagus membawa piring siap hendak ke kamarnya.
Bunda dan bungsu pun meninggalkan ruang pavilun atas tempat kamar-kamar indekos itu.
***Â
Jika Bapak, Ibu, atau Adik-adik berkenan, bisa memberikan masukan atau saran, ya ... terima kasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H