Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 175 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerita Cinta Cendana (Part 1)

1 Agustus 2024   14:47 Diperbarui: 1 Agustus 2024   14:52 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bercinta Lewat Kata

Chorus

Cerita kita takkan seperti di layar-layar kaca
Gemas, romantis, tak masuk logika
Cerita kita 'kan berjalan perlahan dan sederhana
Saling mengerti hanya lewat bicara

(Donne Maula dan Yura Yunita)

Bab 1
Yang Datang Tak Diundang

 "Minggir! Minggir! Kasih jalan! Kasih jalan!" teriak beberapa pria kekar memapah seseorang. Mereka tergopoh-gopoh menuju ke dalam rumah yang sedang hajatan. Menyibak beberapa tamu yang sedang bersalaman dengan tuan rumah.
 "Ayo, bantu panggil bidan! Cepat! Cepat!" teriak salah seorang sehingga beberapa tamu kebingungan dan burur-buru membantu menyiapkan tempat bagi pasien.
 "Ada apa? Apa yang bisa dibantu?" tanya sebagian tamu.
 "Mau lahiran!" seru yang lain.
Kepanikan tetiba terjadi di rumah yang sedang melaksanakan hajat tedhak siten1 itu. Hajatan belum seratus persen usai, tetamu siap berpamitan pulang.  
Bintang --delapan bulan-- sesudah menginjak jenang warna-warni dan masuk kurungan ayam itu sedang digendong Halilintar  sambil menyalami para tamu yang hadir dan memberikan ucapan serta doa.  
Sementara, dengan  perut membukit hamil anak kedua, Cendana berdiri di sisi suami. Kehamilan berjalan lima bulan. Wajahnya ceria dengan senyum selalu merekah. Bahagia.
"Bayi pitu meteng telu2," bisik tetamu memperhatikan perut Cendana.
Tetiba  keributan terjadi. Dua orang tamu baru datang dari jauh, rupanya salah satu hendak lahiran. Turun  dari travel minibus yang ditumpangi langsung dipapah beberapa pria.
Ketika menyibak kerumunan hendak membantu tamu yang baru datang, Halilintar  sangat terperanjat. Mukanya pucat pasi dengan netra Nanar dan tampak kalut luar biasa. Tidak disangka kalau gadis yang pernah ditiduri itu menyusul ke rumah dalam kondisi luar biasa menghebohkan seperti itu.
 "Dia siapa, Mas?" tanya Cendana mengelus perut.
Janin di dalam rahim menendang hingga pinggang terasa nyeri.  Dia meringis. Namun, sang suami tidak peka dan tidak menggubris sama sekali.
Justru diserahkanlah Bintang kepada Cendana! Sebagai tuan rumah, Halilintar  segera menelepon bidan desa yang dikenal. Diabaikannya Cendana yang berulang-ulang menanyakan perihal tamu itu. Bintang pun rewel di gendongan hingga membuat Cendana kewalahan.
"Tiara?" lirih Halilintar  mengernyitkan kening.
Delapan bulan lalu kekasih gelap itu ditinggalkan Halilintar  untuk pulang ke kota asal. Sejak saat itu tidak pernah lagi diketahui kabar beritanya. Halilintar  benar-benar melupakan.
 "Maaf, Anda berdua siapa?" tanya Cendana memberanikan diri mendekati salah satu tamu yang sudah sepuh.
Tidak ada jawaban. Tamu itu meletakkan barang bawaan, segera menghibur yang hendak lahiran.
 "Maaas ...!" keluhnya. Tangan kanan menggamit lengan Halilintar  sambil menggeliat, sementara tangan kiri mengelus perut yang sedang kontraksi.
Baik Halilintar maupun Cendana terkesiap. Halilintar tak pernah menduga kalau Tiara hamil gegara permainan panas saat berdinas di luar kota. Sementara itu, Cendana sangat terkejut dan terpukul melihat drama heboh dan huru-hara mendadak di siang bolong itu. Halilintar tampak tergagap kebingungan ....
Melihat gelagat suami, Cendana hampir tak dapat mengontrol emosi. Dengan muka merah padam ditelisiklah wajah si hamil dari ujung kepala hingga ke kaki. Senyumnya begitu ceria meski diseling rintih dan geliat.
Masih sangat muda, tetapi perut menggunung itu seakan hendak meledak. Peluh meleleh di wajah, rambut disanggul hingga tampak leher jenjang, tetapi rambut itu awut-awutan3. Rupanya tak sempat bersisir sejak turun dari kendaraan. Sesekali tangan dikipas-kipaskan tanda kepanasan.
 "Mas, mereka siapa?" Cendana membelalak nanar menelengkan kepala ke arah suami.
Tanpa jawaban. Terasa darah mendidih hingga ke ubun-ubun, menggelegak hingga memerahkan wajah ayu. Gigi bergemerutuk menahan amarah membuncah. Dada sesak seketika.
Namun, mulut mungil itu terkunci rapat. Tak ingin dia permalukan suami, apalagi  mendengar komentar miring tentangnya di depan sekian banyak tamu yang mulai berkasak-kusuk. Ya, tamu undangan syukuran si sulung yang dilaksanakan agak terlambat itu.
Janin yang di rahim pun menendang kembali dengan cukup keras menghentak pintu kesadaran. Pinggang terasa tegang dan kepala bagai dibelah dua! Diseret secepatnya langkah kaki menggendong sulung menuju kamar pribadi. Segera berkemas menyiasati situasi sebelum amarah melanda dan menyiksa. Ada gelegak bergejolak di dalam dada yang tak mampu diungkap dengan sejuta kata.
Ibu mertua membuntuti berteriak-teriak memanggil. Beliau baru masuk dari arah dapur. Kebingungan. Si ibu mertua tidak tahu mengapa Cendana  ngibrit4  tanpa menoleh dan mengabaikannya seperti itu.
"Kok kadingaren5 Nana cuek seperti itu, ya? Marah dan kesal benar rupanya!" gumam sang mertua lelaki.
Sementara, tirta netra sukses membanjir membasahi pipi Cendana yang segera masuk ke dalam kamar, meletakkan Bintang ke dalam  baby box.  Belum jelas apa yang terjadi, tetapi Cendana tak ambil pusing lagi.
Diambillah beberapa potong baju dari lemari, disiapkan koper dan tas besar, lalu baju-baju itu dimasukkan secara serampangan. Dilakukannya aktivitas itu secepat kilat. Bermaksud hendak pulang ke rumah Bude. Berpikir spontan dan  simple   ... hendak tetirah agar emosi teredam.
Cendana tidak mau mengulas kekisruhan yang datang tiba-tiba, biarlah semesta menjawabnya. Dia pun tak mau tahu haru biru yang terjadi di rumah mertua secara mendadak itu meski meluluhlantakkan hati dan spontan mengubur kebahagiaan keluarga kecilnya.
 "Life is not a problem to be solved, but a reality to be experienced."
Melihat Cendana kesulitan menggendong Bintang dengan menyeret koper besar, kedua mertua tergopoh-gopoh mendekati dan berusaha mencegah.
 "Kalian mau ke mana?"
 "Jangan pergi, Nana!" cegah ayah mertua hendak mengambil Bintang dari gendongan.
Bintang sedikit tantrum dengan rengeknya, Cendana tak mampu berkata-kata. Hanya tirta netralah yang berhasil menjadi duta dukanya. Wanita polos itu bergeming sejenak, sambil berpikir hendak mencari bentor di pengkolan dekat rumah. Kemudian, dipercepat langkah menjauh dan makin menjauhi area sumber duka.

***    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun