RETAK TAK DAPAT TERPAUT
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Wah, sebentar lagi aku akan menjadi siswa SMA," bisik gadis itu mematut diri di depan cermin dengan mengenakan kebaya hasil design sang ayah. Kebaya brukat merah darah itu sangat cocok dengan kulit putih mulusnya apalagi dipadu dengan kain panjang motif parang bernuansa merah juga.
Sulistyawati yang disapa Tia merasa sangat senang ketika namanya dipanggil sebagai juara kedua saat pengumuman kelulusan pada upacara hari itu. Dengan prestasi melejit itu, Tia yakin akan mampu menerobos sekolah favorit yang diidamkannya. Salah satu sekolah di kompleks SMA Tugu. Di sana terdapat tiga sekolah, dua di antaranya sekolah favorit yang diincar banyak siswa SMP dan para orang tua. Akan tetapi, Tia justru tidak memilih yang paling favorit di lingkungan tersebut. Cukup yang sedang-sedang saja.
Kehidupan keluarganya semula baik-baik saja. Ayah yang berprofesi sebagai penjahit dan designer berbakat dan belajar secara otodidak itu memiliki banyak pelanggan. Ibu yang membantu sebagai penjahit sekaligus perias bersinergi dengan ayah, hasilnya lumayan juga. Banyak acara pengantin yang meminta jasa keduanya. Namun, entah mengapa pelanggannya mretheli satu demi satu. Jika dahulu bank swasta terbesar pernah menjadi langganan seragam pegawai, kini tidak pernah lagi. Hari demi hari jahitan pun kian sepi.
Ayah yang temperamental dan kurang rajin bekerja menjadi makin malas. Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan, baik sebagai penjahit maupun perias, ibunya ikut pusing. Entah karena ayah tidak mampu menguasai diri atau bagaimana hingga ibu sering tidak berada di rumah. Saat  kelas satu SMA itu, Tia merasakan kehidupan keluarganya ada yang tidak beres. Mulai diterpa badai entah apa namanya.
Ibu semakin sering pulang ke rumah orang tuanya yang berjarak sekitar enam kilometer dari rumah. Ayah semakin sering uring-uringan. Tia pun merasa tidak nyaman di rumah. Namun, dia tidak bisa mengatasi keadaan karena antara ayah dan ibu rupanya sudah tidak ada kecocokan lagi.
Kondisi ekonomi keluarga pun berantakan. Sering tidak ada uang untuk membeli beras sehingga mau tidak mau kondisi fisik dan psikologis Tia terganggu. Ayah tidak mau bekerja. Ia hanya duduk termenung atau luntang-lantung entah ke mana, sementara ibu berada di tempat lain. Tidak ada makanan apa pun yang bisa Tia santap. Tidak ada uang sepeser pun yang Tia miliki. Ayah seolah lupa kalau masih ada Tia yang menjadi tanggung jawabnya. Tia yang harus dihidupi dengan cara bekerja keras. Tia bukan boneka yang dibiarkan tergeletak tanpa makan!
Satu-satunya jalan yang bisa Tia lakukan adalah pergi ke rumah bibi yang berjarak dua kilometer dari rumah. Tia yang terbiasa berjalan kaki itu mengarahkan kaki menuju rumah bibi. Di tempat nyaman itu, Tia bisa belajar dengan tenang. Makanan pun tersedia. Memang ia harus tahu diri dengan membantu beberapa pekerjaan ringan yang bisa dikerjakannya.
Siang itu Tia pulang ke rumah bibi. Bibi hanya memiliki seorang putra beberapa tahun di atas Tia. Tubuh Tia lunglai, kepala pusing, perut pun sakit luar biasa. Pulang dari sekolah Tia ambruk tepat di depan pntu gerbang. Tak sadarkan diri. Untunglah asisten rumah tangga bibi mengetahui sehingga segera tertolong. Oleh bibi, Tia dibawa ke rumah sakit. Diagnosis: maag akut dan asam lambung sangat tinggi. Atas biaya perawatan dari keluarga bibi, Tia harus menjalani opname beberapa hari hingga kesehatannya pulih kembali.
Bibi paham. Hal itu pasti akibat kondisi ekonomi orang tua ditambah faktor psikologis yang mendera. Untuk sementara, Tia diminta tinggal di rumah bibi dan tidak diizinkan memikirkan keadaan orang tua. Tia menurut apa kata bibi, tetapi untuk tidak memikirkan orang tua rasanya mustahil.
Dulu  Tia dibanggakan sebagai anak tunggal yang cantik, pintar, dan tidak manja. Kini ia  harus kehilangan kasih sayang kedua orang tua dalam waktu sangat singkat. Apalagi sedang tumbuh sebagai remaja yang masih duduk di SMA. Remaja yang masih sangat membutuhkan kehadiran, kasih sayang, perhatian, dan support orang tua.