"Kalau Honey benar-benar cinta, sila bertapa di gunung sana!" Sang rupawan menunjuk sebuah gunung berseberangan dengan bukit itu.
"Mengapa harus di sana, Yayi?" tanya Pinurbo menyelidik.
"Agar aku bisa melihatmu dari sini!" Seulas senyum berkembang membuat jantung serasa berhenti berdegup.
"Oh, baiklah! Berapa lama aku harus bertapa? Aku ingin bersama, Yayi!" ujar jejaka tampan menginginkan kejelasan status. Tentu  saja tidak mau di-PHP dengan menjalani long distance relation semacam itu.
"Nanti Honey kupanggil dari sini. Coming soon!" pinta si jelita mengajuk manja.
"Yayi harus tetap stay di sini, ya! Aku  menghadap arah ke sini!" katanya berpamit menuju gunung di daerah Boyolangu itu.
"Siap, Honey," Si jelita menangkupkan dua telapak tangan di depan dada. Sesungging senyum berhias gingsul memesona dipersembahkan buat jejaka.
Pinurbo terpaku sejenak. Terhenyak  menikmati panorama indah di depannya. Aura swastamita pun merebak menghiasi bukit hingga view jingga merona. Dipungutnya sekuntum kamboja kuning di dekat kakinya, lalu disuntingkan ke telinga kiri gadis rupawan itu. Netra mereka bersitatap mesra.
Demikianlah perpisahan kedua sejoli itu. Konon ketika sang gadis memanggil-manggil pemuda tampan itu, karena jarak yang sangat jauh, tak didengarnya. Ditunggu berbulan lamanya, Pinurbo  tak pernah muncul. Karena jengkel sang perawan pun mengutuknya menjadi sebuah batu. Sementara si gadis tetap stay di tempat itu hingga tutup usia.
Itulah cerita mengapa perempatan menuju kota di sebelah utara terkenal dengan sebutan Cuwiri. Tempat Sang Adipati disiksa dengan raga di-suwir-suwir, dipotek-potek. Daerah itu pun terkenal dengan nama Kalangbret, konon dari kata Kalang meninggal dengan di-sembret-sembret alias dimutilasi hanya menggunakan tangan.
Salah satu jembatan di kota terkenal sebagai Jembatan Lembu Peteng. Sementara sebuah gunung cukup tinggi berhadapan dengan bukit di dusun Bolorejo itu terkenal sebagai Gunung Budheg karena Joko Pinurbo tak mendengar teriakan panggilan si gadis belia.
Di gunung itu terdapat batu menyerupai orang sedang duduk yang terlihat jelas dari atas bukit di sebelah barat daya. Batu itu dipercaya sebagai Joko Pinurbo yang sedang  bertapa menunggu panggilan si gadis. Namun, ketika dipanggil tak mendengar sebagaimana orang tuli atau budheg.