Roro Kembang Sore
Ninik Sirtufi Rahayu
Di suatu dusun terkenal dengan sebutan Bolorejo, tinggallah seorang gadis yatim piatu yang hidup sederhana. Namanya Roro Kembang Sore. Gadis ini sangat cantik. Kulit kuning langsat dan postur tubuh tinggi semampai bak seorang bintang film masa kini. Rambut panjang, ikal, dan lebat tergerai hingga hampir mencapai lutut. Wajah oval, mata belok, hidung mancung, dan bibir tipis menawan. Apalagi gigi gingsulnya. Jika tersenyum, tampak dua lesung pipi menghiasi sehingga membuat siapa pun yang memandang terpesona. Hanya ada satu kata untuk menyebutnya: sempurna!
Sementara, seorang janda paruh baya tinggal di tetangga desa, di Balerejo. Kedua desa ini hanya terpisah sebuah sungai. Janda tersebut bernama Mbok Kamisun. Beliau sangat prihatin melihat si gadis tinggal sendirian. Beliau pun sangat mengkhawatirkan keselamatan putri jelita itu. Mbok Kam, demikian beliau disapa, begitu perhatian dan pengertian. Maka, dimintalah Roro Kembang Sore tinggal bersamanya. Dengan demikian, baik Mbok Kam maupun Kembang Sore, memiliki teman untuk sekadar berbincang setiap hari.
Konon kecantikan Roro Kembang Sore sudah tersohor hingga ibu kota kerajaan. Beberapa jejaka sering berseliweran di depan rumahnya hanya sekadar memastikan kejelitaan si gadis.
Seorang  putra mahkota kerajaan bernama Pangeran Lembu Peteng jatuh cinta kepada si gadis. Ada  pula Joko Pinurbo pemuda berbadan kekar putra juragan batik yang mengincarnya. Bahkan, ada seorang senapati tampan bernama Adipati Kalang. Pria inilah yang berani bertandang ke rumah mereka. Semula sikap  Kembang Sore masih biasa-biasa saja, belum menunjukkan gelagat menyukai pria. Â
Adipati Kalang beberapa kali sempat bertandang, Kembang Sore mulai bersimpati karena perangai, kebijakan, dan kelembutannya. Ketelatenan pria tampan ini membuahkan hasil. Mbok Kam pun merasa pria inilah yang pas dan pantas mempersunting si gadis.
Ketika si gadis mulai menyukai sang pemuda, putra mahkota yang mendengar berita itu merasa tersaingi. Putra mahkota meminta kebijakan ayahandanya agar bisa memenangkan hati si jelita.
"Wahai Putra Mahkota! Ayahanda tak bisa berbuat banyak dalam urusan pribadimu! Hadapilah dengan gentle jangan menjadi pengecut! Jangan pula melibatkan Ayahandamu ini!" demikian nasihat sang ayah ketika mengadukan masalahnya.
Untung  tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Tetiba terjadi huru hara yang mengharuskan Pangeran Lembu Peteng dan Adipati Kalang terjun langsung menumpas pemberontak.
Terjadi kejar-mengejar antara pasukan kerajaan dengan pasukan pemberontak. Adipati Kalang yang membawa pasukan terdesak. Bahkan, tertangkap dan terbunuh oleh pasukan musuh. Di suatu perempatan, tubuhnya dianiaya, dalam bahasa Jawa disebut disembret-sembret. Meninggal dengan mengenaskan karena raganya tidak utuh lagi dan dikebumikan di tempat itu juga. Sementara itu, Lembu Peteng, putra mahkota yang mengejar musuh pun terkecoh. Seorang mata-mata diam-diam memasuki pasukannya. Pada  saat yang tepat putra mahkota ini didorong masuk ke palung sungai. Seketika putra mahkota hilang tenggelam di sana.
Mendengar  kabar itu si cantik sangat berdukacita. Dia menangis dan berlari menuju puncak bukit. Ditumpahkan kesedihan dengan duduk termenung berhari-hari di tempat sepi tersebut. Tak dihiraukan kondisi raga yang kian kurus tak terurus. Digerainya rambut tanda sungkawa sebab sang pujaan telah tiada.
Joko Pinurbo tahu. Dicoba menghibur dan meluruhkan hatinya. Hampir setiap siang hingga senja si jelita dikunjungi di puncak bukit dan  diajak turun.