Si Slamet Mencari Selamat
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Dengan napas ngos-ngosan Slamet berusaha berjongkok di balik rerimbunan rumpun pandan laut yang tumbuh liar di tempat itu. Ditatanya napasnya satu satu. Terpaksa dibiarkannya nyamuk liar meminta jatah setitik darah dengan meninggalkan jejak kenang-kenangan rasa gatal bukan main. Slamet tetap diam tak bergeming. Ada alasan tertentu mengapa dia diam tanpa gerak di tempat rimbun itu.
Namanya memang Slamet. Mungkin dulu orang tuanya berharap agar dia menerima keselamatan seumur hidupnya. Namun apa lacur?
Sesungguhnya nama itu sangat tidak disukai olehnya. Betapa tidak. Nama berbau ndeso kata teman-temannya. Nama yang "tidak menjual" sebagai personal branding. Coba apakah kita pernah mendengar nama Slamet dengan embel-embelnya, misalnya Dokter Slamet, Kolonel Slamet, atau bahkan Profesor Slamet. Nggak ada, kan? Nama kuno terkesan ndeso! Itu kata-kata teman-teman SMP-nya yang masih terngiang-ngiang sampai sekarang.
Sempat dia protes dan meminta dibuatkan 'jenang merah' untuk mengganti nama, tetapi emak dan bapak tidak menyetujuinya.
"Itu nama yang barokah, Le. Kami berharap ke mana pun pergi, kau selalu selamet!" selalu begitu hibur kedua orang tuanya.
Itu hibur mereka dulu. Ya, dulu ketika dia masih kanak-kanak hingga remaja!
"Barokah bagaimana?" pikirnya. "Buktinya sampai usia segini aku masih kelara-lara, ketula-tula. Selalu menderita dan dalam kesengsaraan. Tak ada nasib baik dan selamat seperti arti namaku itu!" pikirannya berkecamuk ke mana-mana.
Itu hibur mereka dulu. Sekali lagi, begitu hibur orang tuanya! Ya, dulu ketika dia masih kanak-kanak hingga remaja!
Diembuskanlah desah dalam napas panjang perlahan-lahan sambil tetap waspada.