Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pernahkah Terpikirkan?

3 Mei 2024   09:00 Diperbarui: 3 Mei 2024   09:01 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Terpikirkan?

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Semenjak masih kecil, nenek selalu mengajari saya untuk memperhatikan orang kecil. Di pintu gapura depan yang biasa disebut regol harus dipajang sebuah kendi (teko tanah liat) lengkap dengan dua cangkir seng atau tempurung kelapa. Kendi  itu airnya harus diganti setiap hari. Air minum gratis itu untuk siapa pun yang kehausan di jalan!

Jika ada orang lewat, berjalan kaki tentunya, nampak kelelahan baiklah kita memintanya singgah ke rumah kita. Kita punya apa haruslah kita memberikannya kepadanya. Apakah secangkir kopi, segelas teh manis hangat, bahkan nasi ala kadarnya. Demikian juga, jika kita naik becak, sesampai di rumah tukang becak harus dijamu layaknya tamu. Berikan sepiring nasi berlauk, satu gelas teh manis hangat, atau secangkir kopi sesuka dia.

Kebiasaan ini terbawa hingga sekarang. Saat ada orang singgah berteduh untuk menunggu hujan reda di pinggir jalan di depan rumah, kita usahakan memberikan kehangatan dengan membuatkannya minuman hangat. Atau kepada para bapak yang sedang berjaga malam di pos satpam, kita bisa memberikan support dengan membuatkannya seteko kopi hangat. Pokoknya, jangan biarkan orang lain yang bisa kita bantu menderita kelaparan, kehausan, maupun kedinginan. Itu prinsip nenek saya yang diwariskan kepada kami.

Ini juga pernah terjadi saat kami kehujanan nun jauh di desa menuju pantai selatan. Saat itu saya berdinas sebagai dosen terbang yang melayani perkuliahan di daerah terpencil. Saya dan suami hanya mengendarai sepeda motor kala itu. Belum memiliki roda empat. 

Kami (saya diantar suami bersepeda motor) kehujanan saat hendak mengajar siang itu. Karenanya kami berteduh di emperan warung kosong. Ternyata, oleh tetangga warung itu kami dibuatkan lemet, makanan khas yang terbuat dari singkong parut. Makanan itu sangat enak apalagi dalam kondisi baru diangkat dari panci. Hangat dan nikmat! Wuahh, ... senangnya bukan main.

Seperti itu rasanya jika kita diperhatikan, padahal kami sama sekali tidak mengenalnya. Betapa baiknya orang desa tersebut! Ini sebagai pelajaran yang sangat berharga.

Bukan pamer, melainkan sekadar curhat. Meskipun bukan orang kaya, kami terbiasa menyisihkan sedikit uang untuk dana duafa. Semampu kami. Setiap bulan, kami sengaja membelikan nasi bungkus untuk beberapa orang kecil, kemudian kami berkeliling mencari sasaran yang tepat. Target kami adalah para pemulung yang kami pikir mereka tidak memiliki gaji bulanan. Jika ada rezeki berlebih, barulah kami memberi lebih banyak termasuk untuk para pekerja di tempat pembuangan sampah.

Pernah suatu saat saya menawarkan kepada seorang bapak pemulung untuk sebungkus nasi agar bisa digunakannya sarapan pagi.

"Wah, terima kasih, Nak! Tetapi mohon maaf, saya barusan sarapan. Tolong berikan kepada yang lain saja, ya!" jawabnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun