Amora
Teman-teman memanggilnya Am, Amor, kadang  juga Mora. Lengkapnya Amora. Mereka juga menyapanya si Mayang terurai, sebab rambutnya ikal bak mayang terurai. Ya, benar. Amora yang berkulit sawo matang, tinggi semampai, memiliki bola mata bulat, itu menurut mereka. Benar tidaknya, terserah. Toh, merekalah yang menilai. Bukan dirinya. Serius!
Itu kalimat pamungkas saat teman-temannya menyangkali semua tentang hal itu. Â
Amora berjalan menuju ruang di sebuah gedung di lantai bawah tanah. Ia seperti orang linglung. Ada beberapa pintu yang harus dipilihnya. Tujuan utamanya ke lantai tujuh. Ia sempat larak-lirik untuk memilah-milah. Tatapannya mengarah ke belakang tubuhnya. Seseorang tengah memperhatikannya.
Amora mulai merasa gugup, namun sedikit pun tak diperlihatkannya.
Perempuan itu masih berdiri. Seseorang itu mulai mendekatinya. Wajahnya samar sebab tertutup topi yang warnanya juga samar. Dikenakannya agak miring. Nampak garang. Jantung Amora terus saja bergegas naik turun tanpa jeda.
Merasa ada yang menghampiri, Amora segera bergerak. Degup jantung semakin menggelegar. Namun sayang, dengan gesitnya orang yang tak dikenal itu mengayunkan langkahnya menujunya. Lelaki itu menggamit lengan perempuan itu.
"Eiittsss.... siapa Kamu?" tanya Amora di sela gugupnya.
Dengan gigihnya ia berusaha melepaskan genggaman lelaki itu. Ketakutannya semakin merajalela.
Gema suaranya terdengar bervibra, memenuhi tuang luas itu. Ruang yang benar-benar hanya mereka berdua di sana.
Dengan ngos-ngosan, Amora berusaha melepaskan lengan yang tengah tergenggam eratnya. Ia tak mampu mengeluarkan suara lagi. Terkatup oleh rasa takutnya yang membara.
Logikanya tertutup kekalutan yang menimpa pikirannya. Di bawah remang lampu yang menggantung di ruang itu, untuk kesekian kalinya Amora berusaha berteriak tapi suaranya tersedak. Berhenti di tenggokan. Gejolak rasa takut seolah meremas-remas sekujur tubuhnya, mencekik leher. Ia nyaris menyerah. Ia hampir saja roboh.