Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) belum memiliki definisi standar yang disepakati secara internasional. Oleh karena itu, terdapat berbagai definisi yang pada dasarnya menyatakan bahwa sistem keuangan dianggap tidak stabil ketika mulai mengganggu atau membahayakan aktivitas ekonomi. Beberapa definisi SSK menyatakan bahwa sistem keuangan yang stabil mampu mendistribusikan dana dan menyerap guncangan (shock), sehingga dapat mencegah gangguan terhadap sektor riil dan sistem keuangan. Selain itu, stabilitas sistem keuangan juga diartikan sebagai kemampuan sistem untuk tetap menjalankan fungsi intermediasi, memfasilitasi pembayaran, serta menyebarkan risiko secara efektif, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi.
Stabilitas sistem keuangan dapat dipahami lebih dalam dengan meneliti faktor-faktor yang memicu ketidakstabilan di sektor keuangan. Ketidakstabilan seringkali terjadi akibat kombinasi kegagalan pasar, baik yang disebabkan oleh faktor struktural maupun perilaku. Sumber kegagalan ini bisa berasal dari faktor eksternal (internasional) atau internal (domestik). Risiko yang sering muncul dalam sistem keuangan mencakup risiko kredit, likuiditas, pasar, serta risiko operasional.
Bank konvensional dan syariah memiliki banyak kesamaan, terutama dalam hal teknis seperti mekanisme transfer, penerimaan dana, teknologi informasi yang digunakan, syarat umum pemberian pinjaman, serta penyusunan laporan keuangan. Namun, keduanya berbeda dalam aspek hukum dan organisasi, struktur pendanaan, serta lingkungan kerja. Perbedaan utama terletak pada dasar pendirian bank syariah yang berlandaskan ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Bank syariah beroperasi dengan sistem yang menghindari unsur riba dan spekulasi (maysir), serta menawarkan produk keuangan berbasis bagi hasil sesuai prinsip syariah (Iqbal & Mirakhor, 2006).
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa bank syariah lebih stabil dibandingkan bank konvensional, hasil studi yang membandingkan stabilitas keuangan keduanya seringkali bervariasi. Misalnya, penelitian oleh Abrar et al. (2018) menemukan perbedaan dalam stabilitas keuangan antara bank syariah dan bank konvensional dibandingkan dengan studi sebelumnya. Di Pakistan, hasil penelitian menunjukkan bahwa bank konvensional lebih stabil daripada bank syariah. Nur (2014) juga menyimpulkan bahwa bank syariah lebih rentan ketimbang bank konvensional. Namun, penelitian oleh Hasan dan Dridi (2011) mengungkapkan bahwa bank syariah lebih stabil selama krisis, tetapi bank konvensional lebih stabil setelah krisis berakhir.
Stabilitas sistem keuangan dapat diartikan sebagai kemampuan sistem untuk mendistribusikan sumber daya keuangan, mendiversifikasi risiko, serta menyelesaikan pembayaran, bahkan dalam situasi gangguan, tekanan, atau perubahan struktural (Deutsche Bundesbank, 2003). Schinasi (2005) mendefinisikan stabilitas sistem keuangan sebagai kapasitas sistem untuk mendukung aktivitas ekonomi melalui penyediaan dana yang diperlukan dan manajemen risiko yang efektif.
Untuk mengukur stabilitas bank, digunakan Z-score, yang pertama kali diaplikasikan secara empiris oleh Cihak dan Hesse (2008). Z-score mengukur stabilitas bank melalui tiga komponen: ROA (Return on Assets) yang menunjukkan kemampuan bank menghasilkan laba, CAR (Capital Adequacy Ratio) yang membandingkan modal bank dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk menilai utang, serta volatilitas ROA (_ROA) yang dihitung menggunakan standar deviasi ROA. Z-score ini menjadi indikator penting untuk mengevaluasi stabilitas bank dalam menghadapi risiko internal maupun eksternal.
Rasio kredit turut memengaruhi stabilitas bank, dan kualitas aset bank digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur stabilitas tersebut. Rasio NPL (Non-Performing Loan) atau NPF (Non-Performing Financing) menunjukkan risiko yang terkait dengan portofolio pinjaman. Semua bank menghadapi risiko kredit, yaitu risiko ketidakmampuan debitur untuk melunasi pinjaman yang dikenal sebagai risiko kredit. NPF, dalam konteks bank syariah, adalah indikator penting yang mencerminkan masalah pembiayaan dan memerlukan perhatian khusus karena sifatnya yang fluktuatif dan tidak pasti. Kredit bermasalah dihitung dengan membandingkan jumlah kredit bermasalah dengan total kredit yang diberikan oleh bank.
Penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Hamdi et al. (2019) dan Wahid & Dar (2016), menunjukkan adanya hubungan negatif antara risiko kredit dan stabilitas bank, di mana peningkatan risiko kredit dapat mengurangi stabilitas bank. NPL/NPF diyakini berpengaruh positif terhadap stabilitas bank, baik syariah maupun konvensional.
Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan suatu bank atau lembaga keuangan dalam memenuhi kewajiban dan utang jangka pendeknya (R. Islam et al., 2019). Penting bagi bank untuk menghitung rasio ini guna menghindari gagal bayar terhadap kewajiban keuangannya. Salah satu rasio yang sering digunakan adalah Loan-to-Deposit Ratio (LDR) atau Funds-to-Deposit Ratio (FDR). Semakin tinggi rasio likuiditas, semakin besar proporsi aset bank yang diinvestasikan dalam pinjaman, yang dapat mengurangi likuiditas bank dan berpotensi berdampak negatif pada stabilitasnya.
Penelitian menunjukkan bahwa LDR memiliki pengaruh signifikan terhadap stabilitas bank. LDR yang tinggi cenderung berkorelasi negatif dengan Z-score, sebuah indikator stabilitas keuangan, yang berarti likuiditas yang lebih rendah bisa meningkatkan risiko kebangkrutan. Dengan demikian, LDR yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan stabilitas bank serta mengurangi risiko kebangkrutan (Hamdi et al., 2019).
Rasio Efisiensi (BOPO) mengukur efisiensi operasional bank, dengan membandingkan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin rendah rasio BOPO, semakin efisien bank dalam mengelola biaya operasionalnya. Efisiensi ini berhubungan erat dengan stabilitas bank; peningkatan rasio BOPO menunjukkan ketidakmampuan bank untuk mengurangi biaya operasional atau meningkatkan pendapatan operasional, yang dapat mengakibatkan kerugian karena pengelolaan yang tidak efisien.
Rasio BOPO yang rendah menunjukkan bahwa manajemen bank efektif dalam memanfaatkan sumber daya. Bank Indonesia menetapkan bahwa rasio BOPO optimal berada di bawah 90%, karena jika melebihi 90%, bank dianggap tidak efisien. Berdasarkan penelitian Cihak dan Hesse (2010), efisiensi yang lebih tinggi mencerminkan peningkatan stabilitas keuangan bank.
Peningkatan globalisasi di sektor keuangan yang didorong oleh perkembangan teknologi membuat sistem keuangan semakin terintegrasi secara real-time dan melintasi batas geografis. Inovasi produk keuangan yang semakin dinamis dan kompleks turut menambah keragaman serta meningkatkan potensi sumber ketidakstabilan di sektor keuangan. Hal ini juga memperumit upaya untuk mengatasi ketidakstabilan tersebut.
Pendekatan yang umum digunakan dalam mengidentifikasi sumber ketidakstabilan adalah bersifat forward-looking atau proaktif, dengan tujuan untuk mendeteksi potensi risiko yang mungkin timbul di masa depan dan memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Dari hasil identifikasi ini, dilakukan analisis untuk menilai sejauh mana risiko tersebut dapat menjadi ancaman yang signifikan, menyebar, dan bersifat sistemik, sehingga dapat melumpuhkan perekonomian.
Rujukan Pustaka
Diniyah, F. (2023). Stabilitas Bank Syariah dan Bank Konvensional di Indonesia: Comparative Analysis. Nama Penerbit atau Universitas.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (n.d.). Ikhtisar Stabilitas Sistem Keuangan.
Myirandasari, B. (2015). Analisis Komparasi Stabilitas Perbankan Syariah dan Konvensional (Bank Umum Devisa Non Go Public di Indonesia). Universitas Brawijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H