Mohon tunggu...
Ningsih Fadhilah
Ningsih Fadhilah Mohon Tunggu... Dosen - UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

akademisi dan peraktisi bidang bimbingan dan konseling serta konsen pada isu gender dan anak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peer Support, Konseling Inovatif Cegah Kekerasan di Sekolah

31 Oktober 2024   12:21 Diperbarui: 31 Oktober 2024   12:26 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kondisi darurat kekerasan di kalangan remaja dewasa ini sangat memprihatinkan. Menurut data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2023. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tetapi tetap saja, kekerasan terhadap perempuan, termasuk remaja, tetap menjadi isu serius yang perlu mendapat perhatian lebih. Diperkuat pula dari data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa kekerasan adalah salah satu penyebab utama kematian di kalangan remaja usia 15 hingga 29 tahun, dengan sekitar 176.000 kematian setiap tahun akibat kekerasan. Hal ini menyoroti betapa parahnya masalah kekerasan yang dihadapi oleh remaja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pengaruh media sosial dan platform digital yang semakin meningkat turut memperburuk keadaan, di mana remaja menjadi lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, termasuk bullying dan kekerasan seksual online.

Banyak remaja yang belum memiliki pemahaman yang cukup tentang hak-hak mereka, bagaimana mengenali dan melaporkan kekerasan yang mereka alami. Hal ini membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik, verbal, emosional, maupun seksual. Hal ini diperparah oleh stigma sosial yang sering melekat, butuh keberanian untuk speak up sebagai korban kekerasan, terlebih kekerasan seksual. Oleh karenanya kasus kekerasan seksual dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan extraordinary.  Faktor kerentanan ini harus dijembatani dengan dukungan sosial, namun dewasa ini banyak remaja yang seringkali merasa terasing dan tidak memiliki dukungan psikologis yang memadai saat menghadapi masalah.

Peran Peer Support dapat memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kekerasan dan meningkatkan Kesehatan mental siswa. Bimbingan konseling berbasis peer support didasari oleh teori social learning Albert Bandura (Bandura, 1977) yang menyatakan bahwa siswa cenderung meniru perilaku yang mereka lihat pada teman sebaya. Dalam konteks ini, siswa perlu dilatih untuk menjadi pendukung bagi teman-temannya sehingga dapat mendorong sikap positif untuk mengurangi dampak psikologis dari perilaku kekerasan. Penelitian oleh Smith dan Watson (2018) menunjukkan bahwa sekolah yang mengadopsi program peer support mengalami penurunan insiden kekerasan sebesar 25% dalam dua tahun setelah penerapan program tersebut. Data ini mengindikasikan bahwa dukungan sebaya efektif dalam membentuk lingkungan sekolah yang lebih aman. 

Demikian juga O'Neil (2019) menyatakan bahwa integrasi peer support dalam sistem konseling dapat berpengaruh dalam peningkatan pemahaman dan kesadaran siswa tentang kekerasan dan pentingnya kesehatan mental. Program ini juga dinilai meningkatkan rasa kepemilikan terhadap gerakan anti-kekerasan, dengan lebih dari 70% siswa merasa termotivasi untuk speak up terhadap kasus kekerasan dan mendukung teman yang mengalami kesulitan. Kajian oleh Durlak et al. (2011), memperkuat bahwa siswa yang terlibat dalam program peer support tidak hanya lebih resilien terhadap kekerasan, tetapi juga memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat dalam program ini. 

Meta-analisis ini menemukan bahwa peningkatan self-efficacy melalui dukungan sebaya dapat mengurangi tingkat stres akibat perundungan dan kekerasan di sekolah. Program ini membantu siswa mengembangkan keterampilan emosional, seperti pengelolaan emosi dan keterampilan komunikasi, yang relevan dalam menangani konflik. Disinilah faktor pengaruh program peer support berdampak pada peningkatan kesehatan mental siswa.

Tentunya keberhasilan program peer support ini tidak bisa terlepas dari dukungan yang konsisten dan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk tenaga pendidik, konselor, orang tua, siswa dan lingkungan sekitar. Keterlibatan aktif semua pihak tersebut dapat membantu menciptakan atmosfer yang mendukung bagi remaja untuk saling berbagi dan memberikan dukungan yang positif. Studi dari Karcher (2009) menunjukkan bahwa efektivitas program ini juga bergantung pada pelatihan yang memadai bagi siswa pendukung, supervisi dari konselor profesional, dan dukungan administratif. 

Inovasi bimbingan konseling berbasis peer support, menawarkan solusi efektif dalam upaya menciptakan lingkungan sekolah yang bebas kekerasan. Program ini tidak hanya membantu mencegah kekerasan, tetapi juga berkontribusi pada kesehatan mental siswa secara keseluruhan. Sebagai agen perubahan, siswa memiliki peran penting dalam membangun komunitas sekolah yang aman dan saling mendukung, sekaligus memperkuat gerakan anti-kekerasan di lingkungan sekolah. Saatnya bergerak dan berpihak, katakan STOP pada kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun