Mohon tunggu...
Aditya Indraningrum
Aditya Indraningrum Mohon Tunggu... -

sangat suka mengamati dan menulis perjuangan hidup rakyat kecil karena hanya itu yang mampu membuat hatiku tergetar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mencicipi Secangkir Jamu di "That's Life Jamu"

10 Maret 2011   10:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian orang, jamu merupakan minuman wajib yang harus dikonsumsi setiap hari. Bagi sebagian yang lain jamu hanya dibutuhkan saat badan terasa sakit, bahkan bagi sebagian yang lain lagi ada yang tidak pernah mengenal jamu sama sekali. Ini cerita tidak sekedar soal secangkir jamu, tapi lebih jauh lagi adalah cerita tentang kepercayaan sederhana pada sebagian masyarakat.

Cerita ini berawal dari rasa gemas saya terhadap sakit batuk yang tak kunjung sembuh di penghujung ramadhan kemarin. Batuk memang kelihatannya penyakit sepele tetapi setelah 2 minggu tidak sembuh juga, saya berinisiatif menjalani pemeriksaan lab yang hasilnya ternyata baik2 saja. Meski demikian hasil yang baik baik saja tersebut berhasil juga memaksa saya menghabiskan 3 botol obat batuk yang pada akhirnya tidak juga membuat batuk saya reda. Karena kasihan melihat kondisi saya, si mbak di rumah akhirnya berani menyarankan agar saya mau minum jamu di tempat langganannya.

Berbekal ancer2 dari si mbak, habis maghrib saya menuju ke ‘pabrik’ jamu favoritnya. Rumah itu hanya berjarak 300 m dari jalan raya bantul Jogja masuk ke utara sebelum gapura selamat datang kota bantul. Sangat sederhana seperti lingkungan sekitar yang khas pedesaan . Dari jauh memang sudah terlihat ramai orang berkerumun, tua muda, bapak ibu , anak-anak dan bayi bayi.

Di sebuah ruangan ukuran 6x3 m, terdapat 2 bangku bambu panjang tempat para ibu antri sambil menggendong bayi menunggu giliran. Sementara di teras terdapat juga dua bangku panjang untuk tempat menunggu para bapak. Wah, ramai juga. Mungkin ada sekitar 30 orang yang sedang antri. Dengan penerangan seadanya, pemilik rumah seo rang perempuan paruh baya yang juga pakar jamu bekerja sendiri di balik sebuah meja makan uk 6 kursi. Di atas meja terdapat banyak wadah plastic dan tas plastic tempat berbagai ramuan di letakkan. ‘Budhe’ itu sebutan orang di sana untuk si pakar jamu, dengan telaten meracik berbagai ramuan menjadi secangkir jamu sesuai dengan pesanan pelanggan.

Karena penasaran, saya pun maju ke depan meja tempat budhe bekerja. Naluri wartawan saya segera bekerja. Sambil melihat kesana kemari, saya sibuk menanyakan berbagai hal. Berbagai ramuan yang tertata rapi di meja ternyata adalah bahan-bahan utama jamu yang sudah dihaluskan. Misalnya, kunyit, jahe, temulawak kencur dsb ditambah dengan sebotol madu, sekeranjang telur bebek, sekantong plastic gula pasir dsb. Jadi budhe tinggal mencampur berbagai ramuan sesuai penyakit pelanggannya kemudian memerasnya menjadi secangkir jamu.

Di sela2 menjawab pertanyaan saya, budhe berkali kali menanyakan kepada para pelanggannya sampai pada siapa giliran berikutnya. Rupanya, budhe sangat khawatir apabila ada pelanggannya yang terlewati. Bagi dia, siapa yang datang awal, itu yang harus dilayani terlebih dulu. Sementara, di antara pelanggan banyak yang mengalah dan lebih mendahulukan anak-anak. Bayangkan, banyak diantara mereka yang sudah datang sejak jam 2 siang, dan ternyata hari ini budhe membuka dagangannya baru jam setengah lima sore. Khas orang pedesaan. Buka tutup toko seperlunya dan sesiapnya. Ya, bagaimana lagi, toh orang2 ini sudah terlanjur cocok dan percaya akan kemanjuran jamu buatan budhe. Jadi mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan secangkir jamu.

Bak seorang dokter sekaligus apoteker, budhe akan menanyakan sakit yang diderita dan segera menyiapkan jamu yang cocok untuk pelanggannya. Bisa saja satu orang menderita dua sampai tiga penyakit, tapi tetap saja ramuan jamunya menjadi secangkir saja. Misalnya, sakit maag bisa di kombinasikan dengan jamu untuk batuk atau pegal linu. Tinggal minta rasa pahit atau manis. Ini mungkin yang membuat orang suka dengan jamu, sekali minum secangkir jamu dua tiga penyakit terobati.

Yang paling laris adalah jamu cekok. Jamu ini untuk membangkitkan nafsu makan anak-anakdan bayi. Dinamakan cekok ya, karena cara meminumkannya dengan cara memeras jamu dalam sebuah kain langsung kemulut bayi. Cara ini memang praktis karena perasan jamu akan langsung masuk, tapi tentu saja cara ini sangat menakutkan karena kesannya seperti dipaksa. Semakin keras bayi menangis dan meronta-ronta akan semakin keras ibu bayi dan budhe berusaha memasukkan jamu sekaligus menenangkan si bayi.

Setiap kali akan meracik secangkir jamu, budhe akan bertanya kepada pelanggannya, ‘siapa yang mau mbonceng?’ aku mau buat jamu batuk campur pegal linu!’ kalau diantara pelanggan ada yang mau mbonceng, berarti budhe akan membuat jamu sekaligus untuk berapa orang. Cara ini adalah cara praktis mempercepat antrian. Kalau penyakitnya sama kan lebih baik di buat sekaligus.

Soal antrian ini memang paling peka. Ya, bagaimana tidak lama. Wong budhe ini bekerja sendiri. Dari menyiapkan, menghaluskan, meracik, memeras hingga menjadi secangkir jamu sampai men’cekok’ bayi-bayi dan melayani pembayaran belum lagi memasak air yang harus selalu tersedia semua dilakukan sendiri. Untungnya, ada beberapa ibu yang dengan rela membantu mencuci cangkir-cangkir kotor, atau mengambil sendiri air gula untuk penghilang rasa pahit, bahkan mengambil uang kembalian sendiri. Berkali-kali budhe dianjurkan untuk membuat nomor antrian, agar pelanggan bisa dilayani dengan urut, tapi nampaknya budhe keberatan, Jawabnya sederhana, ‘nggak sempat buat’ katanya. Termasuk saya, sempat juga dicurigai akan menyerobot antrian oleh seorang ibu karena begitu datang saya langsung maju ke depan meja. Ternyata itu salah. Seharusnya, begitu saya datang , saya harus tahu diri untuk tidak maju, tetap bertahan di belakang meskipun niat saya juga tidak hendak menyerobot. Ramai juga suasana di dalam ruangan, ditengah suara tangis anak-anak, ibu-ibu juga asyik ngobrol dan meributkan soal antrian.

Lain dengan situasi di teras di mana bapak-bapak antri. Nampaknya, bapak-bapak malah sengaja berlama-lama duduk sambil ngobrol dan merokok. Perbincangan diantara mereka pun ramai, dari soal pekerjaan di sawah, kegiatan di desanya sampai soal sakit yang diderita. Baju yang dikenakan pun seadanya, ada yang pake sarung, kaos dan celana kolor tapi ada juga yang rapi berkoko lengkap dengan sarung dan pecinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun