Mohon tunggu...
Aditya Indraningrum
Aditya Indraningrum Mohon Tunggu... -

sangat suka mengamati dan menulis perjuangan hidup rakyat kecil karena hanya itu yang mampu membuat hatiku tergetar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Malaikat bagi Anak Kami

21 Maret 2011   01:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aditya Indraningrum

Mbah Tenong itu nama yang biasa kami panggil. Mungkin tidak ada satupun dari kami yang tahu nama aslinya karena tenong adalah wadah makanan terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran besar hampir sepunggung manusia dewasa yang dia gendong setiap hari. Di panggil Tenong begitu saja ya karena wadah itu yang dia bawa setiap hari.

Ya, Mbah Tenong adalah seorang penjual kue yang biasa berjualan di depan masjid Syuhada Jogjakarta. Di usianya yang sudah sepuh, beliau masih kuat berjualan dari pagi hingga siang bahkan kadang sampai sore tanpa pernah terdengar keluhan, bahkan sakitpun hanya seputar masuk angin, itupun hanya rehat sehari dua hari tidak berjualan.

Entah sejak kapan dia berjualan di situ. Yang jelas kami para orang tua siswa SD dan TK Syuhada sudah sangat akrab dengan beliau. Saking akrabnya, Mbah Tenong tidak segan2 membantu menjaga putra putri kami selagi kami belum sempat menjemput usai pulang sekolah. Perhatian beliau tidak hanya kepada anak2 syuhada tetapi juga sampai tas dan sepatu mereka. Jadi meja tenong tempat beliau berjualan sudah menjadi markas tempat anak2 dan para ibu menitipkan barang mereka. Kalau anak2 menitipkan tas dan sepatu kemudian di tinggal main sambil menunggu orangtua menjemput. Lain lagi dengan ulah para ibu, selain titip anak, para ibu juga tak segan menitipkan kunci mobil, barang belanjaan, baju baru, selop baru, uang jajan anak2 bahkan sekedar titip pesan untuk disampaikan kepada ibu yang lain pun mbah tenong akan dengan senang hati menerimanya. Ingatan beliau sungguh mengagumkan. Dari berbagai titipan dan pesanan tidak ada satupun yang meleset. Belum lagi kalau mendadak hujan, dengan tergopoh gopoh beliau akan memindahkan barang titipan kami ketempat yang terlindung karena beliau hanya berjualan di bawah pohon.

Tentu kami para ibu juga berusaha membalas kebaikan hati beliau. Salah satunya, begini, biasanya ketika adzan dhuhur tiba, Mbah Tenong yang Alhamdulillah selalu tepat waktu sholatnya akan ganti titip dagangannya kepada para ibu. Jadi ketika Mbah Tenong sholat dhuhur , para ibu akan dengan senang hati menjaga dagangannya. Sampai2 kami hapal dengan harga kue2 yang dijual. Jadi ada untungnya juga para ibu tidak tepat waktu sholat dhuhurnya, kalau semua tepat waktu lalu siapa yang akan menjaga dagangan Mbah Tenong?
Ini cerita sederhana sebetulnya dan dihadapi setiap hari. Masalahnya, apakah kami yang Alhamdulillah telah diberi banyak kenikmatan oleh Allah swt mampu mengambil pelajaran dari kehidupan seorang Mbah Tenong?

Beliau bukanlah orang yang suka memikirkan nasib. Apalagi meratapi dan mengasihani diri sendiri seperti jutaan manusia lain. Ia memilih berbuat dan berbuat. Karena beliau tahu persis bahwa perbuatanlah yang dalam istilah agama adalah amal yang akan dinilai di hari akhir nanti bukan pikiran apalagi ratapan. Jadi dengan segala keterbatasan, beliau tetap dengan setulus hati membantu sesama semampu apa yang bisa diberikan.Beliau adalah malaikat bagi anak kami, semoga anak kami tetap akan mengingat kebaikan beliau hingga akhir hayat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun