Mohon tunggu...
Aditya Indraningrum
Aditya Indraningrum Mohon Tunggu... -

sangat suka mengamati dan menulis perjuangan hidup rakyat kecil karena hanya itu yang mampu membuat hatiku tergetar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ar-Rahman (True Story)

9 Maret 2011   05:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan mengalami jalan hidup seperti ini. Ya..ini memang bagian dari keterbatasan manusia mengetahui jalan hidup bagaimana yang akan dilalui di kemudian hari. Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari 4 bersaudara dari sebuah keluarga yang sangat sederhana. Keluarga kami tidak pernah berpikir akan bagaimana hidup selanjutnya, yang terpikirkan hanyalah harus makan apa 6 mulut ini setiap hari. Bapak bekerja sebagai pesuruh di sebuah warung bakso sedang ibu sibuk mengurus 4 anaknya. Kami mengontrak sebuah kamar ukuran 3x3 dengan biaya 100 ribu perbulan di daerah kuncen utara pasar klithikan. Kakakku berumur 10 dan aku 8 tahun bekerja sebagai pencuci piring di warung makan dekat rumah dengan upah 2000 rupiah + lauk untuk sekali makan perhari. Tentu kami tidak pernah berpikir apakah upah yang kami terima sepadan dengan yang kami kerjakan. Ya, diperbolehkan bekerja di sana saja sudah sangat disyukuri.

Dengan berbagai kesulitan yang setiap hari dihadapi, tidak pernah terlintas dibenak untuk mengeluh apalagi merenungi kesulitan tersebut. Karena percaya atau tidak, apabila kita ditempa berbagai kesulitan pasti lama2 akan menganggap kesulitan tersebut sebagai hal yang biasa. Itulah mengapa di tengah keterbatasan, kami masih tetap bisa tertawa bahagia melihat bapak pulang bekerja membawa oleh-oleh 2 bungkus bakso setiap hari. Bayangkan, kami setiap sore selama bertahun2 makan bakso sebagai menu tetapmakan malam. 2 bungkus untuk 6 perut.

Sekolah tentu tidak terjangkau. Di televisi tetangga, kami sering melihat iklan sekolah gratis. Pada kenyataannya, kami tidak bisa melanjutkan sekolah karena harus membayar. Meski kata orang sekolah tersebut murah dibanding sekolah lain, tetap saja kami menganggap mahal.

Keadaan berubah ketika ibu hamil anak kelima. Bapak dan ibu yang biasanya selalu terlihat riang semakin sering merenung dan terlihat sedih. Beberapa kali aku mendapati ibu menangis diam2, kami anaknya pura2 tidak tahu karena kami memang tidak tahu apa yang harus dilakukan selain tetap bekerja dan membantu ibu mengasuh adik2.

Seminggu yang lalu, ibu melahirkan di sebuah klinik bersalin di bantul. Karena tidak punya biaya, bapak menjaminkan BPKB motor – satu satunya harta kami- di klinik tersebut. Adik kami yang bungsu di beri nama yusuf. Karena kurang makan, ASI ibu tidak keluar. Tentu ini sangat memberatkan kalau kami harus membeli susu setiap hari.

Di suatu malam kami mendengar bapak dan ibu bertangisan sambil menyebut2 kata adopsi. Terus terang kami tidak paham dengan kata itu. Selang beberapa hari kemudian, tiba2 saja setiap hari ada saja bingkisan brupa baju, uang, makanan yang dikirim kepada kami. Pelan2 bapak ibu memberi kami pemahaman apa arti adopsi. Termasuk resiko dan mengapa bapak ibu melakukan itu. Sambil terisak, beliau meyakinkan kami, bahwa meskipun ikhlas anaknya diambil orang bukan berarti beliau berdua tidak mencintai. Beban hidup yang semakin berat dan kecemasan akan masa depan anaknya, itu menjadi alasan utama. Bapak berjanji akan memilih dengan sangat hati2 calon orang tua kami.

Ada dua keluarga yang akhirnya bersedia mengadopsi dua dari kami. Kakak sulung diambil saudara di bantul karena prestasi belajarnya bagus jadi sayang kalau tidak melanjutkan sekolah. Sedang adik bungsu kami yang masih berusia 6 hari diambil sebuah keluarga berada di surabaya. Berpisah dengan kakak terasa tidak begitu menyedihkan, selain diambil saudara bapak sendiri mereka juga akan tetap tinggal di jogja jadi kami masih bisa bertemu. Lain dengan adik kami yang bungsu. Keluarga angkatnya ingin menjadikan adik kami layakya anak kandung. Jadi mereka berkali-kali menanyakan kesediaan bapak ibu untuk melepas adik kami selamanya dengan ikhlas. Setelah melalui proses hukum, akhirnya jadilah sebuah surat yang menyatakan adik kami sudah resmi menjadi anak dari orang tua barunya.

Hari itu tiba, tanggal 11 juli 2009. Orang tua baru adik kami datang menjemput. Bapak ibu menyuruh kami libur kerja untuk melepas kepergian adik. Bapak dan ibu menangis terus hingga tidak mampu berkata apa apa. Ketika akhirnya adik digendong ibu barunya dan hendak di bawa masuk ke mobil, bapak akhirnya mampu bicara. ’Tolong jangan sia siakan hidup anak kami.’ Kedua orang tua baru adik sambil berurai airmata juga berjanji akan melindungi dan merawat dengan sebaik2nya amanah bapak. Karena mereka juga sudah berpuluh tahun menikah tetapi belum dikaruniai anak.

Berlima kami masuk ke kamar. Tidak ada satupun dari kami yang mampu bicara. Kamar kami yang hanya berukuran 3x3 terasa longgar karena sekarang hanya tinggal kami berlima. Kemudian bapak mengambil al quran dan dengan suara lirih beliau membaca surat ar rahman, surat kesukaan beliau.
’fabiayyi alaa’i robbikumaa tukaddzibaan’
Maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan....’
Dengan beristighfar berkali kali, bapak mengucap lirih, tidak ada maksud mendustakan nikmatMu ya Allah, kami hanya betul2 tidak sanggup memberi kehidupan yang layak bagi anak kami.Semoga Allah swt meridhoi.

oleh: aditya indraningrum (membantu dan mendampingi proses adopsi)

ditulis berdasarkan curahan hati ibu Suyati, ibu kandung adik bayi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun