Bagian (6) : Daun-Daun Takdir
Aku  mengangkat koperku masuk ke dalam bagasi bis. Ku kecup jemari Bapak dan Ibu. Liburan semester telah usai. Aku harus kembali kuliah. Tinggal satu semester lagi aku melangkah.
Ibu memelukku erat, berpesan agar menjaga kesehatan dan segera berkirim surat setibanya di Jakarta. Aku mengangguk, airmataku mengalir. Duh ibu, belum lagi aku berangkat. Rinduku padamu sudah terbit.
Bis menebas jalanan, perjalanan juang harus aku tuntaskan. Di dalam bis, mataku terpejam. Tapi tidak hatiku, bayang mas Tio masih terus mengikutiku.
Pagar  besi berwarna putih kubuka perlahan, deritnya membuat sesosok laki-laki di teras bergegas bangun. Mas Aldi.
Senyumnya mengembang, bergegas di jemputnya koper yang ku  jinjing.
“Sini biar aku yang bawa sampai ke kamarmu, Laras pasti lelah“, Mas Aldi tersenyum penuh rindu membuatku jengah.
“Engga usah mas, biar aku sendiri. Insya Allah masih kuat“, aku menjawab, menolak halus pertolongannya.
“Kamu lama sekali liburan di kampung, aku kangen loh“, Mas Aldi berucap tanpa basa-basi.
Hatiku disergap rasa tak nyaman, ingin segera buru-buru menghilang. Aku semakin merasa takut, melihat sikapnya yang semakin nekat dan keras kepala.
Sesopan mungkin aku menolak bantuannya, bergegas pamit dengan alasan gerah, ingin membersihkan badan.