“Ada air mata, tapi kau tiada, atau mungkin telah menutup semua lembar kisah?? Mungkin, tapi aku tahu bahwa diamku adalah rindu. Gerimis.........waktu itu, dan payung berwarna unggu bergaris hitam yang meneduhi kita, adalah kata yang tak bertitik. Butiran hujan yang pecah di bibirku adalah kalimat yang tak pernah lagi bersambung”.
“Rin, kau benar selalu mengingatku, atau hanya sekedar menyenangkan hatiku?” Begitu tiba-tiba Pras menyapaku ketika istirahat siang sambil menikmati menu sambal cobek di kantin kantor tempatku bekerja. Prasetyo Nugroho lelaki teman sekantorku, lelaki bertipical pendiam tiba-tiba mengucapkan kalimat yang menurutku panjang membuatku tak percaya, bagaimana mungkin ini bisa? Acap kali bertemu tak jarang bertegur sapa, hanya senyum, atau cukup mengangguk.
“Rin, ko diam, ada yang salah dengan kalimatku?” kali ini suara Pras sedikit lebih keras, sesaat ku tatap wajahnya yang lembut, kumisnya yang tipis menambah kesempurnaan ketampanannya, nyanyian denting piring seakan tak mampu memecahkan ketertegunanku, sampai akhirnya Pras memukulkan sendok makannya di punggung tanganku.
“Ehmmm, apa Pras, aku ndak dengar kau ngomomg apa?’ Ririn pempertegas pertanyaannya seolah agar Pras mengulangnya kembali. Di tatapnya wajah Prasetyo sambil tangannya memain-mainkan sendok garpu mengaduk makanan di piringnya.
“Sudah ah, ndak penting, lupakan saja, tak perlu dibahas, ndak ada siaran ulang” sahut Pras sambil berdiri dan meninggalkan kantin berlalu begitu saja. Ririn merasa tak enak hati, segera dikejarnya Pras untuk meminta maaf padanya. Alunan musik keroncong Sundari Sukoco mengema di setiap sudut ruangan, lagu Jembatan Merah yang diaransemen ulang oleh Purwacaraka menambah rasa bersalahnya Ririn. Ia tak bermaksud melukai perasaan Pras, lelaki yang selalu membantunya menyelesaikan pekerjaan kantornya, lelaki yang selau memberikan tumpangan gratis pulang kerja, entahlah.......harus bagaimana Ia menjelaskannya. Ririn tak berhenti mengumpat dan menyalahkan dirinya sendiri. Sampai di ruang kerjanya Pras tetap bungkam seribu kata, wajahnya terus diarahkan ke komputer kerjanya memasukan data-data keuangan pengeluaran dan pemasukan kantor, bibirnya rapat terkunci, matanya membuta ketika Ririn memasuki ruangan yang sama. Ririn pun menyurutkan niatnya untuk mencoba berkata hanya sekedar meminta maaf. Sampai jam pulang wajah dingin Pras tak mencair namun herannya Pras tetap menunggu untuk memberikan tumpangan.
“Pras, kau marah padaku?” Ririn memberanikan diri memulai pembicaraan. “Benar Pras, aku tak bermaksud mengabaikan pertanyaanmu, aku hanya kaget mendengar ucapammu, sungguh aku tak percaya kalau kau berkata seperti itu” Ririn berusaha memberi penjelasan dengan sedikit membela diri. Lagi-lagi Pras hanya diam, konsentrasinya fokus pada kemudi, dan hal ini membuat Ririn menjadi salah tingkah. Perjalanan hening ......bunyi bising knalpot tak mampu mencairkan suasana, diambilnya ponsel dari dalam tasnya, dan Ririn memulai menulis dalam pesan singkatnya:” Terima kasih atas kebaikanmu selama ini, maaf besok saya pulang sendiri saja”. Tepat di jalan Senopati Pras menghentikan laju kendaraannya, tempat dimana Ririn selalu turun setiap sore. Semilir angin sore mengibas-ngibaskan jilbab Ririn, hatinya berkecamuk, tak menyangka Pras tersinggung sehebat itu, andai kau tahu Pras, aku juga benar selalu mengingatmu, seperti yang pernah ku katakan waktu itu, dan kau pun hanya tersenyum mendengarnya. Perasaan hati mengapa serumit ini? Apakah ini yang disebut cinta...sayang...atau apa entahlah....Ririn mencoba mengadukannya pada angin sore yang manja menyentuh jiwanya
------------------------------------------------
Keesokan harinya
Pras datang lebih awal ketimbang dirinya, berpakaian merah marun dengan dasi senada serta kaca mata yang bertengger di atas hidungnya membuat penampilan pagi ini sangat berbeda. Ririn pun takut menyapanya. Terdengar nada masuk dari ponselnya, segera dibuka dan dibacanya, WA dari Prasetyo setengah tak percaya Ririn membacanya. “Aku tak marah, hanya ingin menguji hati dan perasaanku saja” begitu berita singkat dari Pras. Ririn menoleh ke arah Pras duduk, secara bersamaan Pras pun demikian, beradu tatap sesaat, hati Ririn bergemuruh tersipu malu dan dengan cepat ditundukkan kepalanya, “Tuhan mengapa tiba-tiba hatiku berdebar, sepanjang waktu kami bersama baru kali ini hatiku bergetar, ada apa dengan diriku?” Ririn tak berani mendongakkan kepala, Ia mencoba menulis kalimat singkat “maaf mungkin kemarin aku membuatmu marah” Ririn membalas pesan ke Pras.
----------------------------------------------------------------------------------------
Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis lembut di depannya, Ririn Aryanti Dewi, gadis yang belakangan ini selalu mengisi lamunan Prasetyo. Gadis sederhana dan bersahaya ini diam-diam telah merebut hatinya, nanun tak pernah punya keberanian Pras menguraikan hasrat hatinya, ketertarikannya hanya ditunjukkan pada sikapnya yang mesra kepada Ririn, parahnya Ririn seakan tak menghargai sikapnya. Dan Pras pun tak berani mengatakan kata hatinya walupun hanya lima huruf “CINTA”. Pras takut melukai hatinya, baginya biarkan hatinya yang terluka dan Ririn akan tetap menempati sisi ruang lain di hatinya. Pras menyadari orang tuanya sudah menyiapkan jodoh untuknya, sebagai anak terbesar yang selalu ingin menyenangkan orang tua Pras tak pernah punya keberanian untuk menolaknya. Hanya tinggal tiga bulan lagi Pras masih bisa menatap wajah Ririn yang ayu, mencium bau parfumnya yang harum, dan menikmati suara tertawanya yang menyejukkan hati. Pras terkadang berpikir bahwa dirinya adalah pengecut, sebagai lelaki Pras tak pantas memenangkan hati Ririn, namun wajah kedua orang tuanya selalu bertengger di sudut matanya, Pras tak berani berkata tidak, sebab baginya senyum orang tuanya adalah kebahagiaan yang tak ternilai.