“Runi, ada apa denganmu, kau sakit?. Wajahmu terlihat pucat”. Suara Pambudi membuyarkan kekuatiran Seruni.
“Engak Mas”. Jawab Seruni menutupi kegugupannya.
“Sudah masuk dusun Wirotapan Runi” Mas Budi memegang pundak Seruni
“Iya, Mas, rumahku persis di atas kaki bukit itu”. Jawab Seruni sambil menunjuk bukit di depan matanya.
Akhirnya setelah hampir satu jam perjalanan dari stasiun Tugu, Seruni sampai juga di halaman rumahnya. Mereka turun dari mobil yang membawanya setelah mas Budi membayar tarif yang tertera diaplikasi Gocar. Mereka perlahan menuju rumah yang terlihat asri dan begitu sepi, dengan kanan kiri berjajar pohan durian dan duku hasil tanaman bapaknya dan mbah Min. Sayup terdengar suara nyayian tembang Jawa Sinom Parijotho dari dalam rumah berbilik anyaman bambu.
“Runi, tunggu dulu, jangan kamu ketuk pintunya”. Suara mas Budi menghentikan langkahnya.
“Ada apa mas?”, sahut Runi.
“Biarkan dulu tembang itu selesai Runi, aku suka mendengarnya”
“Iya Mas, itu suara mbah”. Lirih Seruni menjawab.
Anger-anger putraningsun
Lah tangi yoo dipun aglis