“Mas, saya disuruh pulang oleh mbah”. Kata Seruni di suatu hari ketika sedang menikmati liburan kerja di sebuah warung sate bebek Kaliyo.
“Oh, ya kapan?”. Jawab Pambudi sambil terus menyantap sate Bebek Kaleyo.
“Tapi, mas….”. Seruni tak berani melanjutkan kalimatnya.
“Tapi apa, Runi?”. Pambudi menatap wajah Seruni yang sedikit grogi dari biasanya.
“Mbah, bilang mas harus ikut pulang saya”. Seruni menunduk dan tak berani mengatakan sejujurnya isi wejangan mbah dalam pesan singakat di whatsApp Seruni bahwa Pambudi adalah lelaki yang diramal mbah melalui garis di tepalak tangan Seruni.
“Alhamdulillah Runi, saya sebenarnya juga ingin ikut, ingin kenal dengan mbahmu iku?’. Pambudi mengenggam tangan Seruni yang berkeringat karena grogi.
“Besok saya pesan dua tiket kerata api untuk kita berdua”. Pambudi menatap wajah Seruni penuh cinta, dan Seruni hanya bisa menuduk menyembunyikan rasa groginya.
Lagu lawas dari Titik Sandora yang berjudul “Bunga Sakura” serasa menjadi saksi bisu kemesraan kedua anak Adam yang mulai jatuh hati.
*****************************
Kerata api Argo Dwipangga meluncur dengan cepat dari stasiun Gambir tepat pukul 08.30 menuju stasiun Tugu Jogyakarta. Tak ada kata serius selama perjalanan pulang ke Jogya antara Seruni dan mas Budi. Seruni kembali mengingat ramalan mbah Min beberapa tahun yang lalu bahwa jodohnya adalah berinisial “P”. Dan entahlah, apa karena kebetulan atau memang penerawangan mbah yang luar biasa, ia menyuruhnya pulang dengan teman lelakinya yang sekarang sedang dekat dengannya. Seruni tak berani mengatakan pada mas Budi, ia simpan rapat ramalan mbahnya sewaktu SMA dulu.
Argo Dwipangga memasuki stasiun Tugu tepat pukul 16.25, Mereka menuruni tangga kereta dan langsung memesan Gocar untuk membawanya ke Wirotapan, sebuah dusun kecil di kaki bukit. Hati Seruni terus bergemuruh, grogi dan takut bila mas Budi ini adalah lelaki yang diterawang mbahnya menjadi jodonya.