“Pripun mbah, siapa jodohku kelak?” Seruni tak sabar menunggu hasil penerawangan mbahnya.
“Wah…Nduk, jodohmu iku apik tenan”
“Sae pripun toh mbah”. Seruni tak sabar menunggu penjelasan mbah Min. Darno, perkutut kesayangan mbah Min malah sing jawab dengan siulannya yang gandang membuat mbah Min mangut-mangut seneng.
“Wis ditunggu yang sabar nduk, jodohmu iku pria sing bibit bobote apik tenan”. Mbah Min melepaskan tangan Seruni.
“Yo mbah, terus inisialnya apa?”. Seruni merajuk penasaran seperti anak kecil minta dibelikan boneka mainan.
“Inisialnya P, Nduk “.
“Waaah, mbah iki bikin aku penasaran”. “Lengkapnya siapa mbah?” Jawab Seruni merajuk.
“Wis, ditunggu ae, mogo-mogo Gusti sing maha Agung meridhoi”. Seruni hanya terdiam, antara percaya dan tidak percaya. Seruni kecil tak pernah tahu tentang dunia kebatinan yang diugemi mbahnya.
“Mbah, kopinya nambah malih mboten?’
“Cukup Nduk, Mbah ngaso ndisit, iki primbon Betaljemur mbah disimpan”.
Seruni menerima primbon Betaljemur dan membiarkan mbah Min tiduran dibalai bambu, suara siulan Darno nyaring terdengar. Angin sore menyapa semilir sejuk di kediaman Seruni. Rumah sederhana dengan bilik bambu yang dianyam sendiri oleh mbahnya. Rumah mungil di kaki bukit Wirotapan menjadi masa kecil terindah Seruni dengan mbahnya dan kedua orang tuanya yang petani durian.