[caption id="attachment_103669" align="alignleft" width="180" caption="putri-apel.blogspot.com"][/caption] Mony, seekor monyet kecil, sangat asyik bermain. Dia berayun dari satu dahan ke dahan yang lain, dari satu pohon ke pohon yang lain. Dia sedemikian asyiknya sehingga dia lupa waktu. Setiap hari, Mony selalu bermain. Ibunya selalu mengingatkan dan menasehati dia supaya Mony memperhatikan saat makan siang, saat tidur siang, saat mengerjakan pr, dan sebagainya. Tetapi, Mony selalu saja melupakan nasehat ibunya.
Karena keasyikan bermain, Mony tidak pernah mengerjakan pr. Dia selalu dihukum oleh Bu Guru karena melalaikan tugasnya. Dia sering disuruh untuk berdiri di depan kelas sebagai hukuman.
“Kamu harus mengerjakan setiap tugas yang diberikan, kalau kamu ingin menjadi monyet yang pandai,” kata Bu Guru, suatu hari.
“Iya, Bu,” jawab Mony sambil tertunduk.
“Jika sekali lagi kamu melalaikan tugasmu, kamu bisa dikeluarkan dari sekolah dan kamu akan menjadi monyet bodoh.”
“Iya, Bu.”
“Monyet bodoh akan menjadi monyet yang mudah dibodohi oleh binatang-binatang lain.”
“Iya, Bu.”
“Monyet yang mudah dibodohi akan menjadi monyet gelandangan.”
“Iya, Bu.”
“Monyet gelandangan adalah monyet yang hina.”
“Iya, Bu.”
“Ingatlah itu!”
“Iya, Bu.”
Setelah tiba di rumah, Mony membuka buku pr-nya. Dia mencoba mengerjakan tugasnya. Kadang-kadang dilihatnya dahan-dahan pohon di sekitar rumah. Dahan-dahan itu nampak begitu nyaman untuk bermain.
“Aku harus menyelesaikan pr-ku,” Mony bertekad dalam hati.
Suara daun-daun yang tertiup angin membuat Mony melihat ke luar. Angin sepoi-sepoi meniup daun-daun. Dahan-dahan pohon ikut bergoyang mengikuti tiupan angin.
“Ah, betapa menyenangkan bermain di dahan-dahan itu sambil merasakan tiupan angin sepoi-sepoi,” pikir Mony. Dia tidak dapat memusatkan perhatiannya pada tugas sekolahnya.
“Aku akan bermain sebentar saja, dan kemudian melanjutkan untuk mengerjakan tugas ini,” Mony memutuskan apa yang akan dilakukannya.
Mony pergi keluar dan mulai bermain, berayun dari dahan ke dahan. Bermain lebih menyenangkan dari pada belajar. Berayun dari dahan ke dahan lebih mengasyikkan dari pada mengerjakan tugas dari sekolah. Mony lupa waktu. Tugas dari sekolah tak diselesaikan.
Keesokan harinya, Mony sangat takut untuk masuk sekolah. Dia berpikir untuk mencari akal bagaimana cara untuk tidak masuk sekolah. “Ahh, aku tahu,” pikirnya.
Setibanya di sekolah, Mony menghadap Bu Guru dan mengatakan bahwa dia tidak bisa masuk sekolah karena ibunya sedang sakit. Mony harus membeli obat untuk ibunya. Mony berdusta. Bu Guru mengijinkan Mony pulang untuk membeli obat. Mony pergi ke pasar.
Di pasar, Mony bertemu dengan seorang tetangganya. “Lho, kok kamu di sini, Mony. Bukankah kamu seharusnya di sekolah?” tanya tetangga itu.
“Oh. Di sekolah sedang ada rapat guru-guru,” jawab Mony, berdusta.
Mony pulang. Ketika dia tiba di rumah, beberapa monyet temannya sudah menunggunya.
“Lho, kenapa kalian ke rumahku?” tanya Mony.
“Bu Guru menyuruh kami untuk menjenguk ibumu yang sedang sakit. Bu Guru tidak bisa datang hari ini, mungkin beliau akan datang ke sini besok,” jawab temannya.
“Wah, gawat!!” kata Mony.
Ibu yang sedari tadi mendengarkan percakapan itu berkata, “Jadi, kamu sudah mulai berdusta, Mony. Kau berdusta pada Bu Guru dengan mengatakan bahwa Ibu sakit, padahal Ibu sehat-sehat saja.”
Mony meminta maaf kepada ibunya dan kepada teman-temannya. Dia berjanji untuk tidak berdusta lagi. Dan, untuk itu dia harus bisa membagi waktu untuk bermain dan waktu untuk belajar.
Pesan Moral:
Dusta pasti akan terbuka bagaimanapun caranya.
Penulis: Kolaborasi Ning Tri dan David Solafide (No. 147)
UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA PARADOKS YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI AKUN Dongeng Anak Nusantara di Kompasiana sbb Dongeng Anak Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H