[caption id="attachment_403650" align="aligncenter" width="624" caption="Nasional.kompas.com"][/caption]
Publik pasti masih ingat tentang niat dan tujuan ketua fraksi PDIP yaitu Puan Maharani, yang digadang - gadang akan menjadi ketua DPR yang baru periode 2014 -2019. Seandainya itu terlaksana, maka akan jadi sebuah kehebatan tersendiri bagi cucu Bung Karno. Karena dalam usia muda berhasil menduduki jabatan strategis di Republik Indonesia. Bahkan akan membuat harum nama besar keluarga dalam perpolitikan nasional!
Apa kata dunia? ternyata niatan dan tujuan itu terganjal oleh semangat koalisi KMP, yang ingin menghancurkan PDIP sampai titik nadir terendah. Dan jika bertanya siapa yang paling sakit hati? Pastinya sang ketua umum juga sekaligus ibundanya yaitu Megawati. Karena Puan Maharani harus banyak menimba ilmu dan pengalaman di sektor lain, agar kelak telah siap dan matang memimpin PDIP di masa yang akan datang, saat tampuk pimpinan diserahkan secara sah dan resmi.
Jika bicara perasaan seorang Maharani, maka kemungkinan tidak ada bayangan dalam dirinya akan menduduki jabatan Menko di kabinet. Karena apapun namanya, tetap saja disebut sebagai "bawahan" Presiden. Beda cerita dengan kedudukan seorang ketua DPR, yang memiliki legalitas dan simbol pemimpin di Legislatif! Dan sangat perlu digaris bawahi, bahwa Megawati mendidik dan mengarahkan anaknya sebagai calon pemimpin setidaknya di lingkup partai, bukan sebagai bawahan siapapun dan dimanapun.
Perasaan ketua umum parpol PDIP selaras dan dirasakan juga oleh seluruh fungsionaris partai, salah satunya ialah Menkumham Yasona Laoly, yang dikatakan memiliki kedekatan dipartai sangat erat dengan Megawati apalagi dengan anaknya Puan Maharani saat duduk di parlemen. Sehingga Chemistry yang terbangun itu, menyebabkan Menkumham sangat tegas dan lugas mengesahkan PPP (Romy) dan Golkar (Agung) secepat-cepatnya dan sesingkat-singkatnya. "Sangat wajar" di Indonesia selalu ada keputusan hukum bernuansa politik!
Dalam artikel ini bukan bermaksud membela PDIP, tapi ingin mengemukakan secara objektif saja. Bagaimana tertawa terbahak -bahak para KMP yang dimotori ARB saat berhasil "menjatuhkan" Puan Maharani sebagai calon ketua DPR. Dengan wajah tertunduk dan melangkahkan kaki keluar ruangan (walk out) saat akan pengesahan revisi UU MD3 diketok palu. Bayangkan bagaimana perasaan keluarga besar PDIP apalagi ketua umumnya?. Mungkin jika Megawati yang "diserang" secara politik, akan lebih pasif menyikapi. Tapi jika Puan yang diserang? Â Maka pasti tanpa dikomando A1 juga akan terjadi pergerakan balasan aktif dari kubu PDIP.
Sekedar saran pandangan saja kepada Golkar kubu ARB, bahwa angin yang kalian tabur ketika tahun lalu, sekarang telah menghasilkan badai yang harus kalian terima. Segala perbuatan baik dan buruk akan selalu ada konsekwensi yang didapat! Tidak akan pernah ada kemenangan abadi, karena posisi keabadian di perpolitikan, terletak dari perubahan itu sendiri yang bukan bersifat statis melainkan dinamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H