Mohon tunggu...
Nindya Nirmalasari
Nindya Nirmalasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Peneliti

Suka Meneliti Hal Random di Taman Belakang Kampus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Childfree: Dilema Hak Individu dan Norma Sosial

23 Juni 2024   23:01 Diperbarui: 23 Juni 2024   23:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena childfree, pilihan untuk tidak memiliki anak kembali menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Di tengah budaya yang masih kental dengan nilai-nilai kekeluargaan dan ketimuran, childfree kerap menuai pro dan kontra sehingga memicu perbincangan multidimensi. Di satu sisi, childfree merupakan hak individu yang dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional dan nasional. 

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Konvensi Hak Politik dan Sipil (ICCPR) mengakui hak setiap individu untuk menikah dan berkeluarga sesuai keinginannya. 

Di Indonesia, UU Perkawinan dan UU Kesehatan Reproduksi juga menjamin hak individu dalam menentukan pilihan reproduksinya. Alasan di balik childfree beragam dan kompleks. Pertimbangan finansial, kesehatan, fokus karir, dan keinginan menikmati hidup tanpa anak menjadi beberapa faktor yang mendorong individu memilih childfree.

Di sisi lain, childfree masih dianggap bertentangan dengan norma sosial di Indonesia. Anak tetap dipandang sebagai anugerah, penerus keturunan, dan pembawa kebahagiaan bagi orang tua dan keluarga. Kekhawatiran akan kurangnya generasi penerus, dampak negatif terhadap tradisi dan budaya, serta anggapan bahwa childfree adalah tindakan egois dan bertentangan dengan kodrat manusia masih sering dilontarkan. Penting untuk dipahami bahwa norma-norma sosial tidak selalu statis. 

Norma sosial dapat berubah seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, dan nilai-nilai baru. Childfree bukanlah fenomena baru dan sudah menjadi pilihan hidup yang cukup umum di negara-negara maju. Di beberapa negara di Eropa, childfree bahkan menjadi tren yang meningkat.

Di Indonesia, childfree mungkin masih dianggap tabu, namun bukan berarti pilihan tersebut salah. Setiap individu berhak menentukan jalan hidupnya tanpa harus tunduk pada tekanan norma sosial. 

Penting untuk membuka ruang diskusi terbuka dan konstruktif mengenai childfree. Dialog antargenerasi, pendidikan tentang hak-hak reproduksi, dan pemahaman yang lebih baik tentang alasan di balik tidak adanya anak dapat membantu menjembatani perbedaan dan mengurangi stigma. 

Rahim Abrams, seorang sosiolog terkemuka, pernah berkata, "Keluarga adalah unit sosial terkecil, namun dampaknya terhadap kehidupan individu dan masyarakat secara luas tidak dapat diukur." Mungkin pepatah ini masih relevan, namun di tengah derasnya arus perubahan sosial, hak individu untuk memilih childfree sebagai bagian dari unit sosial yang dibangunnya juga perlu dipahami dan dihormati. 

Ini bukan tentang menantang norma, tapi tentang membuka cakrawala pemahaman bahwa keluarga bahagia bisa datang dalam berbagai bentuk, dan kebahagiaan sejati dibangun di atas kebebasan dan pilihan berdasarkan tanggung jawab. Mari kita menjembatani kesenjangan antara norma dan hak individu melalui dialog dan pendidikan, menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman pilihan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun