Menurut pandangan beberapa sosiolog seperti Zurcher dan Snow di dalam buku Michener & Delamater tahun 1999 mendefinisikan gerakan sosial adalah gerakan atau kegiatan yang bersifat kolektif dimana diekspresikannya kepedulian tinggi mengenai isu isu tertentu. Lalu ada Gusfield dan Alen tahun 1980 yang beranggapan bahwa gerakan sosial merupakan sebuah kepercayaan atau kegiatan dari masyarakat mengenai harapan masyarakat akan perubahan pada aspek tertentu dan kondisi sosial. Kemudian ada Cohen pada tahun 1983 yang  menggambarkan gerakan sosial sebagai gerakan yang telah dilakukan oleh sejumlah orang yang sudah terorganized dan memiliki tujuan untuk melakukan perubahan  atau mempertahankan unrsur unsur tertentu dalam lingkungan masyarakat (Haris, AB dan Ahmad 2019). Gerakan sosial dipandang juga sebagai bentuk dari perubahan sosial dan juga sekaligus dapat menciptakan transformasi sosial selanjutnya, gerakan sosial juga dikatakan sebagai suatu bentuk dari aktifitas civil society yang memiliki khas, gerakan sosial dapat dikatakan berhasil apabila gerakan sosial tersebut memiliki hal hal seperti tindakan yang benar adanya dan dapat meluas atau mendorong orang orang untuk dapat berpatisipasi (Hapsari, Sarwono dan Eriyanto 2017). Pada kali ini penulis akan mengangkat gerakan sosial mengenai gerakan Women's March dimana gerakan ini adalah sebuah gerakan yang mengangkat isu hak asasi manusia wanita yang selalu dipertaruhkan dengan isu isu seperti ketidaksetaraan gender dan adanya diskriminasi terhadap wanita (Rifqi 2022).
Gerakan women's march sendiri merupakan tempat atau wadah bagi para pejuang yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender, gerakan ini muncul sebagai bentuk respon terhadap perlakuan yang berbeda terhadap sesama manusia yang ditentukan berdasarkan gendernya (Bahari, Aditiany dan Rifawan 2022). Gerakan women's march sendiri muncul pertama kali pada tanggal 21 Januari 2017 dimana gerakan ini muncul di negara bagian Amerika secara keseluruhan dan menyebar hingga ke seluruh dunia, dengan adanya gerakan ini menjadikan women's march sebagai gerakan demonstrasi terbesar yang ada dalam sejarah di Amerika Serikat hal inipun menarik perhatian dari media baik lokal maupun media internasional (Rifqi 2022). Dilansir dari Beautynesia, Women's march yang berlangsung pada tahun 2017 di Amerika Serikat disebabkan oleh ucapan dan perilaku yang dituturkan oleh Donald Trump yang dianggap tidak memiliki moralitasdengan memnadang perempuan layaknya objek pribadi karena status selebritis yang dimilikinya.[1]
Â
Di Indonesia gerakan ini pertama kali muncul dan dilaksankan oleh Jakarta Feminist discussion Group di Jakarta pada tanggal 4 Maret 2017 yang dimana kegiatan ini di ikuti oleh lebih dari 700 partisipan yang merupakan gabungan dari beberapa komunitas dan organisasi, seperti gerakan women's march di Amerika gerakan ini di Indonesia juga berjuang dan bertujuan untuk melawan ketidakadilan dan melawan kekerasan kekerasan yang terjadi kepada perempuan di Indonesia dan dengan gerakan ini diharapkan bisa menghapus kekerasan pada perempuan yang terus meluas dan seringkali terjadi di Indonesia, tujuan lain dari adanya gerakan ini juga untuk mendorong Indonesia akan adanya perubahan sosial-budaya, hukum, juga politik serta hak asasi manusia perempuan di penuhi di akui di lindungi, dan berharap akan kesadaran pemerintah untuk dapat melindungi environment hidup dan pekerja perempuan di Indonesia (Ayubi dan Zahidi 2022). Adanya 8 tuntutan yang diajukan oleh para partisipan dari gerakan women's march tersebut, yang pertama mereka menuntut pemerintah yang pro dengan keadilan gender dalam hukum dan juga kebijakan, kedua mereka menuntut pemerintah untuk lebihb komperhensif dan lebih aktif dalam pengalokasian dana program yang terkait dengan perempuan, ketiga mereka menuntut pemerintah yang mentoleransi akan adanya keberagaman, kemudian keempat merek menuntut pemerintah untuk memeperhatikan isu isu tertentu seperti isu lingkungan hidup, iklim, dan isu mengenai hak-hak pekerja pada perempuan, selanjutnya mereka menuntut akan pelayanan publik yang pro pada perempuan, individu transgender, dan disabilitas, kemudian mereka juga menuntut pemerintah dan juga mempersuasif masyarakat untuk memenuhi hak asasi manusia bagi tiap individu maupun kelompok yang memiliki orientasi seksual berbeda, ketujuh mereka juga menuntut para pejabat negara dan partai politik untuk lebih peduli dan memperhatikan hak politik perempuan, dan yang terakhir mereka mendorong masyarakat untuk lebih memperhatikan isu isu mengenai perempuan dan juga dampak dari kebijakan internasional.[2] Gerakan women's march yang di inisiasikan oleh Jakarta Feminist tidak hanya dilakukan dengan terjun ke jalan mereka juga memanfaatkan platform media sosial dalam melaukan gerakan women's march, mereka telah memaparkan banyak informasi dan ide mereka melalui instagram mereka, dengan menggunakan instagram mereka dapat membagikan program mereka sehingga akan lebih banyak orang yang dapat mengetahui apa saja isu-isu yang dibahas dan dapat mendapatkan perhatian lebih banyak dan mendalam dari akun akun intsagram yang realted ataupun non related dari akun Jakarta Feminist (Poluan dan Lung 2022). Menurut penulis dalam penjelasan gerakan sosial women's march  ini bisa kita lihat dari perspektif teori mobilisasi sumber daya. Teori mobilisasi sumber daya sendiri diperkenalkan Anthony Oberschall dimana ia melakukan penelitian tentang bagiaman gerakan sosial dapat muncul, dan berhasil dalam pelaksanaannya melalui proses yang telah dilakukan, teori ini juga memiliki anggapan bahwa mobilisasi sumber daya yang dijalankan suatu gerakan sosial yang baik dikelola oleh internal maupun external pasti akan mendukung keberhasilan gerakan sosial tersebut (Putri, Sekarningrum dan Ferdyansyah 2022).Â
Â
Kesimpulan yang dapat diambil dari gerakan sosial Women's March ini adalah bagaimana gerakan ini di ikuti oleh banyak orang yang ingin memperjuangkan hak hak atas ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang terjadi terutama pada kaum peremouan. Gerakan ini sangat membantu masyarakat dan bisa membantu untuk membuka mata dan pikiran semua orang ataupun pemerintah dalam memperhatikan isu-isu tentang perempuan yang selama ini selalu dianggap sepele atau sebelah mata, dan dengan adanya gerakan ini yang terus dilakukan tiap tahunnya diharapkan bisa menjadi arahan untuk semua orang untuk tidak membedakan dan tidak memandang rendah suatu golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H