Mohon tunggu...
Nindya Julisia
Nindya Julisia Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Negeri Surabaya

Mahasiswa S1 Bimbingan dan Konseling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Psikolog Malpraktik

8 Februari 2022   11:34 Diperbarui: 8 Februari 2022   11:47 4572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap anak tentu memiliki tujuan dan cita -- cita masing -- masing. Tujuan dan cita -- cita tersebut tentu tidak stabil. Ada yang semula ingin menjadi dokter beralih menjadi guru serta ada yang ingin masuk jurusan IPA ( Ilmu Pengetahuan Alam ) berubah ingin jurusan IPS ( Ilmu Pengetahuan Sosial ). Perubahan keinginan tersebut memiliki banyak faktor. Mungkin saja dari dorongan orang tua dan anak tersebut telah menyadari potensinya. 

Orang tua serta pihak sekolah harus berperan aktif  mengetahui dan menentukan minat dan bakat setiap anak. Di sini orang tua dan pihak sekolah harus berkolaborasi dengan psikolog. Tentunya, psikolog ini harus mempunyai penddikan S1 Psikologi dan lisensi. Mengapa demikian ?  supaya menghindari tindakan malpraktik. Malpraktik yang dimaksud adalah ketidaksesuaian profesi.

Seperti kasus yang terjadi yang telah dilakukan oleh bapak L pada 16 september 2019, beliau merupakan bukan lulusan sarjana psikologi. Setelah diselidiki  ia merupakan lulusan magister sains dalam bidang psikologi. Setelah beberapa bulan dari kelulusannya ia direkrut menjadi dosen di sebuah Sekolah Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Satu hari ia diminta oleh pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan tes psikologi yang bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).

Masyarakat setempat terutama pihak sekolah SMA tersebut selama ini memang tidak mengetahui secara pasti mengenai program studi yang ditempuh L apakah ia mengambil magister profesi atau magister sains begitu juga dengan perbedaan ranah keduanya, mereka hanya mengetahui kalau L sudah menempuh pendidikan tinggi S2 psikologi.

Mendapat tawaran untuk melakukan pengetesan semacam itu, tanpa mempertimbangkan latar belakang  L langsung menerima dan melakukan tes psikologi serta mengumumkan hasil tes kepada pihak sekolah tentang siapa saja siswa yang bisa masuk di kelas IPA, IPS dan bahasa. L melakukan tes psikologi tersebut ternyata tidak sendirian, ia bekerja sama dengan M (pr) yang memang seorang psikolog.

Anehnya M menerima ajakan kerja sama L dengan senang hati dan tidak mempermasalahkan apapun yang berhubungan ranah psikologi yang semestinya meskipun pada sebenarnya ia sendiri sudah paham bahwa L tidak boleh melakukan hal tersebut. Antara keduanya memang terjalin kerja sama akan tetapi yang memegang peranan utama dalam tes psikologi tersebut adalah L, sedangkan M sebagai psikolog sendiri hanya sebatas pendamping L mulai dari pemberian tes sampai pada penyampaian data dan hasil asesmen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun