"Bundaa... aku nggak mau bunda kemana-mana, bunda temani aku terus ya? Nanti kalau aku diculik gimana? Bunda nggak mau kehilangan aku kan?" dengan raut muka cemas yang sangat menggemaskan putri kecilku semata wayang berusia empat tahun nampak tak ingin aku tinggalkan sedetik pun. "Sayaangku tiqa, bunda cuma mau pergi siaran sebentar kok sayang. Maafin bunda ya, bunda nggak bisa ajak kamu dulu.. Soalnya hari ini bunda mau wawancara sama Bu Ustadzah Azra juga, sebentar saja kok naak. Satu jam saja siarannya, bunda janji setelah itu langsung pulang dan kita jemput Abib ya?" bujukku sekuat tenaga agar si cantik mau berbaik hati mengizinkan bundanya. Memang sudah jarang sekali aku siaran-siaran di salah satu radio islami tempatku mengabdikan diriku sejak muda, selain aku sudah sibuk dengan aktifitasku menjaga usaha butik muslimah kecil-kecilan didepan rumah, aku juga sudah menjadi penyiar senior yang alhamdulillah masih mendapatkan hak siaran dengan range waktu yang tak terikat, sifatnya bila diperlukan amat mendesak saja. "Yasudah, kalo gitu. Bunda dapet PR dari aku ya.." berkedip-kedip mata jelinya memandangku penuh penekanan. "Apa sayang...?" tanyaku sambil meluapkan raut wajah menelaah. "Bunda tolong kasih aku adik ya, supaya aku punya temen. Supaya aku nggak kesepian lagi kalau bunda nggak ada. Oke bunda???" lagi-lagi mata cantiknya berkedip-kedip, kali ini dengan senyuman seorang peri cantik. Aku tertegun, bingung bagaimana harus menjelaskan kepada bocah cantik yang belum paham kenyataan dan makna hidup. Ya. Kenyataan bahwa rahimku telah sirna, aku tak mungkin lagi mempunyai anak. Sejak beberapa tahun peristiwa itu terjadi dalam hidup kami, aku dan suamiku, maka suamiku mengajukan permohonan keringanan bekerja pada perusahaan radio tempatku bekerja. Alhamdulillah, karena sang pemilik radio adalah salah satu kerabat dekat, yang mana ia juga salah satu audience pada saat suamiku menjadi pembicara disalah satu acara seminar keagamaan beberapa tahun silam, ketika itu suamiku masih berusia muda. Dimula dari permintaan diskusi pribadi sang pemilik radio hingga akhirnya mereka cukup dekat. Dari sang pemilik radio itulah aku mengenal suamiku hingga kini kita arungi bahtera rumah tangga bersama. Tapi jika kembali aku ingat permintaan putriku, pikiranku kembali melayang. Seringkali aku berniatan mengadopsi anak, namun suamiku tak mampu menyetujuinya. Detik terus berjalan seiring lamunanku, tangan kecil itu mengibas-ngibaskan bajuku. Dengan nada berbisik dan senyum seringai disebelah sudut bibirnya, bidadari kecilku berkata, "gimana bundaa.. bunda bisa kan? nanti Tiqa juga bilang sama abib deh ya.. Sip!" dengan kedipan mata sebelah dan satu ibu jarinya menginisialkan tanda oke. Aku tak mampu berkata, hanya sunggingan senyum yang mampu kusampaikan padanya. Kukecup dahinya selama mungkin dan sekhidmat mungkin agar ia dapat merasakan aku selalu dekat dengannya. Seusaiku siaran, sekiar pukul 13.00 aku hendak beranjak ke masjid kantor untuk shalat dzuhur. Disela langkah, telepon genggamku berdering.. "Assalamualaikum abiib.." "Waalaikumsalam bunda.. Aku sempat dengar siaranmu tadi, subhanalloh kamu belum berubah.. Masih seperti dulu ketika gadis, penuh semangat dan inspiratif." "duuh abiib, nggak bosen-bosennya memuji. Wong aku sudah banyak pikun gini kok, pasti banyak hal yang missed dalam prosedur penyampaianku tadi, hehee... Gimana bib, Ustadzah Azra subhanalloh ya! Dia yang inspiratif biib, bukan bundaa.." "pokoknya wanita-wanita muslimah inspiratif buat abib. Tapi Usatdzah Azra tidak seberapa lah abib tahu, puokok'e bundaa paling sip deh. Hehehe, emmh.. apa kabar si cantik Tiqa bun?" "aaamiiiinn... hmmm,, Tiqa minta 'temen' lagi tuh bib.." "ohya? hehee,, dia benar-benar merasa kesepian mungkin ya bun? Emm, kita belikan dia kucing anggora saja bagaimana?" "hmm... Boleh dicoba, nanti kita cari bareng-bareng ya kalau aku jemput kamu." "oke sayang, kalau gitu aku lanjut dulu ya.. Jangan lupa makan siang, ingetin bibi juga Tiqa jangan telat makan, assalamualaikum" "waalaikumsalam abib.." Sebentar lagi pukul 16.00 aku harus cepat tiba dirumah supaya Tiqa tak resah mencariku. Ya Allah, sejenak dalam dzikirku tersirat peristiwa itu, ketika aku divonis dokter untuk segera mengangkat rahimku. Cervical cancer itu benar-benar merenggut kebahagiaanku sebagai seorang wanita seutuhnya, tapi subhanallah aku memiliki suami yang betul-betul dapat kuandalkan untuk tempat bersandar dan belajar memaknai kehidupan. Aku selalu ingat pesannya untuk selalu bersyukur, karena Allah begitu baik telah memberikan kita Peri kecil yang jelita untuk setidaknya menyempurnakan keluarga kecil kita sebelum peristiwa itu terjadi. Apalah daya diri ini, jika Atiqah belum sempat ada dalam pelukan kami berdua namun Allah telah memerintahkan penyakit itu merenggut rahimku? Sungguh Allah Maha Indah dengan segala rahasianya. "Assalamualaikum cantiik... Bunda pulang.." dengan erat dia memelukku, serasa lama tak jumpa. Setelah mencium tanganku, ia lantas berbisik, "Bundaa, tadi aku ngomong ditelepon sama abib. Katanya abib mau belikan aku kucing anggora! Alhamdulillah, ayo bunda aku udah rapi nih, yuk kita jemput abib. Udah jam 3 sore lho..." begitu ceria mimik wajahnya, aku benar-benar kembali bersyukur kepada Rabb karena telah mengaruniai putri kecil yang sangat mengerti dan dewasa. Tak perlu menuntut adik bayi, apapun ia terima akan usaha Abib dan Bundanya. "Iya sayang,, bunda mau sholat ashar dulu.. Lalu kita jemput abib, terus kita ke Pet shop deh... Oke?" "yasudah, aku tunggu ya bun." Peri cantik lantas mengebaskan tubuhnya berbaring disofa kesayangannya dan seperti biasa, mengambil buku-buku cerita nabi yang aku belikan dikereta bebrapa kali waktu. Dia tak hanya memperhatikan gambar-gambar pada buku tersebut, namun berusaha memperlancar bacaannya yang telah diajarkan Ibu guru Fateema diplaygroup. Didalam mobil, Atiqah sibuk mencari-cari pet shop disepanjang jalanan menuju kantor abib. Sementara konsentrasiku dengan keramaian jalan disore hari sesekali buyar oleh canda tawa yang tercipta akibat ulah polosnya si kecil itu. "Bunda, kalau disitu ada kucing anggora juga ya?" ia menunjuk salah satu toko boneka yang banyak memampang boneka-boneka berbulu tebal. Dengan senyuman geli aku pun menjawab, "ya nggak sayang.. Itu toko khusus boneka mainan, memang ada yang mirip anggora.. Tapi itu semua boneka, pokoknya kamu tenang saja ya naak.. Nanti bunda sama abib datang ke pet shop yang banyaaak sekali kucing-kucing lucu kesukaanmu.." "siippp bundaa.. Tiqa sayang bunda, Tiqa sayang abib, Tiqa sayang bibi, Tiqa sayang temen-temen, Tiqa sayang eemmm.. Kucing Anggoraku, hihihiii" "Duuh anak bunda seneng sekali, coba bunda cium sedikit boleeh?" rayuku tak sabar. Lalu ia menghampiriku, mendekat memberikan pipi sebelah kanannya. "itu dia abib!" teriak putriku bersemangat. -- Hari itu tak biasa, ada yang berbeda dari raut wajah putri kecilku. Ia tampak layu dan juga pucat ketika si Lui menggelayut manja padanya seperti biasa, Lui kucing anggora Tiqa yang baru, yang juga anggota keluarga kami yang baru. Biasanya dihari minggu pagi hari menjelang siang adalah jadwal Tiqa bermain bersama Lui, sudah tiga bulanan lebih Tiqa merasakan kehangatan baru bersama Lui. Namun hari itu entah mengapa kuperhatikan disela-selaku merajut sweater baru untuknya, dan beberapa juga untuk stock butik. "Anakku sayang, anakku cantiik.. kenpa dari tadi bunda perhatikan kamu nggak bersemangat? Kamu lagi marahan sama Lui ya? hehehe.." seringaiku mengajaknya bercanda. Berharap pun ia mau menjelaskan perasaannya kala itu. Namun yang terjadi dia hanya bersandar dipangkuanku, ketika ku dekap tubuhnya, MasyaAllah! Aku sangat terkejut suhu tubuhnya tinggi. Aku mencoba meredakannya, hingga ia beristirahat. Aku dan abib membacakan Yassin Fadhilah bagi putri tercinta kami, aku pun meminta pertolongan bibi untuk ikut serta mengirimkan doa apapun yang ia mampu. Selama dua hari, suhu tubuhnya semakin tak stabil aku semakin cemas. "Abib kita harus bawa Tiqa ke dokter, Bunda takut dia terkena DBD" dengan perasaan amat khawatir aku dan Abib melesat ke rumah sakit terdekat. Setelah hampir 2 minggu anak tercintaku terbaring dirumah sakit, berdasarkan permintaan suamiku untuk sesegera mungkin cek darah dan segala kebutuhan lab untuk meng-observasikan kondisi putri cantikku, maka hari ini lah hasil lab itu. "Bundaa, sabar ya sayang.. Ini ujian kita berdua, kalau kita yakin sama Allah apapun yang kita hadapi, pastilah kita ikhlas." Ucap suamiku disela lamunan dzikirku, seraya aku mengangguk dan mencoba menguatkan diri. "dia telah banyak menebarkan rona cinta bagi kehidupan rumah tangga kita bib, aku harus tahu apa yang sesungguhnya dialami putri kita." Tak lama, dokter tiba memeriksa keadaan Atiqah yang semakin terlihat kurus dan pucat. Ibu dokter membawakan boneka untuknya, mengingatkan gadis kecilku akan Lui teman tercintanya akhir-akhir ini. "aku kangen Lui bunda, bu dokter.. boleh nggak bunda atau bibi bawa Lui kesini?" tanyanya dengan secercah senyuman harapan "tentu kamu boleh bertemu Lui, cantiik.. Tapi nanti setelah kamu sembuh" jawab bu Dokter dengan senyuman bersahaja. "yasuda sayang, besok Bunda bawakan foto-foto Lui ya.." Bu dokter membawa kami ke ruang Laboratorium, dan mencoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada putri kami... Sungguh Maha besar Allah atas segala kuasanya, Ia bisa kapanpun mengambil salah satu bagian tubuhku yang berharga, Ia juga akan mampu mengambil Putri kami dari Leukemia yang menghinggapinya secara tiba-tiba dan tanpa dugaan kami. Aku sempat shock selama beberapa hari, aku tak lepas dari Quranku dan terlena olehnya sehingga tubuh ini pun terikut kurus, tak memperhatikan makan dan kesehatanku. Ketika suamiku menegurku dengan tegas, barulah aku tersadar bahwa tak sepantasnya aku berlaku seolah-olah menentang Tuhan. Aku harus hidup dalam semangatku yang selalu ada sedariku muda, aku harus menyemangati Putri kecilku berjuang melawan Leukemianya. Tahun itu sungguh suram, aku merasa Allah telah menghujatku dengan segala musibah yang mendera. Aku hanya mampu duduk disamping pusara anakku, melepas senyum bahagia si cantik Tiqa telah terbebas dari penyakit yang menggerogoti keceriaan hidupnya. Genggaman tangan itu, ya.. genggaman tangan itu selalu menguatkanku, suamiku yang penuh wibawa selalu lapang membiarkanku berteduh dibawah naungannya. Suamiku adalah satu-satunya orang didunia ini yang kuharap dapat bertemu kembali di haribaanNYA. Suamiku, guru dan juga pendamping hidupku yang telah Allah ciptakan sebagai hadiah kekurangan hidup ini. Sejak 12 tahun silam Atiqah pergi meninggalkan kami, kini aku masih ditemani Lui. Dan kali ini Lui tak sendiri, ia memiliki teman baru. Moura, gadis remaja yang kini mengisi hari-hari hampa kami, menjadi warna-warna baru. Moura telah menjadi yatim piatu sejak ia lahir ke bumi. Ayahnya telah pergi meninggalkan dunia ini karena sebuah kecelakaan ketika si Ibu yang tak lain sahabat karibku mengandungnya. Kemudian Sahabat karibku tak kuasa menantang maut yang menjemputnya ketika melahirkan Moura ke dunia. Hingga kini Moura masih anakku, anak yang bukan dari rahimku, namun cintaku padanya selalu sebanding dengan cintaku pada Peri kecilku yang selalu bersemayam dalam jiwa ini, si cantik Atiqah.. Ya Allah sungguh indah alur hidupku, dan sungguh Engkau Maha mewarnai kisah hidup setiap makhlukMU.. Engkau Maha baik, Engkau Maha bersahaja jika kami tak henti bersyukur padaMU..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H