Sistem Zonasi PPDB tahun 2020-2022 dianggap memiliki tujuan mulia karena digadang-gadang menjadi kunci utama menuju pemerataan pendidikan di Indonesia. Namun, sebagian orang menganggap langkah ini tidak diimbangi dengan pemerataan kualitas tenaga pengajar serta sarana dan prasarana sekolah. Alhasil, citra generik sekolah pun tetap menjadi andalan para calon siswa dalam menentukan capaian sekolah impian mereka.
Ironi, sesuatu yang dianggap solusi dari ketidakadilan pendidikan di negara ini pun turut menciptakan fenomena diskriminasi. Tidak hanya merugikan mereka yang gagal mencapai sekolah impian, Sistem Zonasi justru turut memberikan kerugian psikis dari para siswa yang berhasil memasuki sekolah favorit melalui jalur ini.
Menurut survei yang dilakukan oleh Tim 20 Jurnalisme Advokasi Fikom Unpad 2022 terhadap 54 responden, ada 88,9% orang yang mengaku mengetahui dan memahami tujuan pemberlakuan sistem zonasi, sementara 11,1% lainnya mengatakan kebalikannya. Di sisi lain, ada 27,8 % orang yang merasa kurang puas atas pemberlakuan sistem zonasi, sedangkan 48,1% lainnya merasa kurang puas, 16,7% merasa sudah puas, dan 7,4% merasa puas.
Melalui perolehan  data tersebut, maka dapat kita ketahui bahwasanya ketidakpuasan atas penerapan sistem zonasi lebih mendominasi. Sayangnya, bahkan mereka yang "beruntung" dapat memasuki sekolah impian melalui sistem zonasi pun turut terkena imbasnya.Â
Hal ini patut disayangkan, karena selain ketimpangan kualitas tenaga pengajar dan sarana prasarana sekolah, keluhan dari mereka yang terdampak juga ditujukan dari lahirnya kecurangan-kecurangan segelintir pihak demi dapat duduk di sekolah idaman, ternyata diskriminasi juga turut hadir sebagai satu dari sekian masalah yang tercipta atas penerapan sistem ini.Â
Segelintir tenaga pendidik terindikasi melakukan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap sukses melalui Sistem Zonasi. Fakta tersebut diperoleh dari kesaksian sejumlah murid sekolah favorit di Bandung melalui wawancara mendalam yang telah dilakukan beberapa waktu lalu. Ini sangat berlawanan dari salah satu misi menteri pendidikan terkait tujuan sistem zonasi untuk menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah.
Diskriminasi ini dilakukan secara verbal kepada murid-murid yang berasal dari sistem zonasi. Mereka kerap dilayangkan pertanyaan seperti: 'kamu masuk jalur apa? jalur apa?'. Bayangkan ada berapa banyak murid diluar sana mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa guru mereka, terlebih persentase kuota murid dari sistem zonasi yang dominan dipertemukan dengan perlakuan diskriminatif dari tenaga pengajar.
Sebuah studi yang ditulis oleh Research Scientist Emile Bruneau mengatakan bahwa diskriminasi dilakukan oleh guru kepada muridnya disebabkan oleh dehumanisasi yang terang-terangan --- guru berpikir bahwa kelompok lain, dalam konteks ini murid yang berasal dari sistem zonasi, dirasa kurang berkembang dan/atau beradab dibandingkan murid dari sistem lainnya.
Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi mendalam atas pemberlakuan sistem zonasi berdasarkan reaksi-reaksi yang ditimbulkan saat kontroversi sistem ini mengudara pertama kali. Evaluasi dapat dilakukan dengan jajak pendapat dari para calon peserta PPDB periode-periode selanjutnya agar calon peserta didik turut terlibat dalam proses pembentukan regulasi pendidikan yang menyangkut masa depan mereka.
Selain itu, para guru ada baiknya turut diberikan edukasi oleh para pemangku kepentingan terkait agar diskriminasi antar siswa atas jalur masuk yang mereka gunakan dapat dihindarkan. Ketika fenomena diskriminasi ini dapat diminimalisasi, maka program pemerataan pendidikan dapat berjalan lebih baik lagi.
Di sisi lain, apabila ditemui guru yang melakukan diskriminasi, sanksi atas perlakuan diskriminatif yang mereka perbuat pun seharusnya turut diberlakukan agar dapat menjadi pembelajaran untuk guru-guru lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H