Aku putuskan untuk diam, seolah-olah diam adalah hal terbaik dari pada mengungkapkan. Malam itu, aku meronta menangis namun tak lagi kau gubris. Sekuat apa wanita itu hingga mengubahmu menjadi lelaki yang tak lagi kukenal? Tapi, sudahlah ini memang takdirku. Tuhan beri aku kekuatan untuk pergi, namun terkadang bisikan setan lebih terdengar. Aku berdiri lalu berjalan pergi, kuhampiri tembok pagar disebelahku, ku ayunkan kepalaku membentur tembok. Terahir kudengar kamu memanggil namaku, kakiku lemas, tanganku dingin. Aku masih tersadar.
Kamu terlihat khawatir seolah masih peduli dengan keadaanku. Jujur aku tak pernah tau apa tujuanku melakukan hal itu. Hampir larut malam, kamu mengantarku pulang kita berdua berkendara di tengah hujan dengan keadaanku yang masih kurang sadar. Kamu meminta aku memelukmu. Lalu aku memutuskan aku akan pergi, kamu kembali memperlihatkan seoalah kamu masih peduli dengan keadaanku. Kamu memohon hingga menangis, aku tak tau apa arti tangisanmu itu. Aku hampir tak percaya lagi tangismu seolah hanya acting pemanis saja. Setelah itu kamu mengulanginya lagi dan lagi. Kata orang-orang ketika pria menangis,itu salah satu tanda jika pria atau lelaki itu menyayangimu. Ah, aku tak percaya omong kosong itu.
Â
Maaf masih belajar nulis, tambahkan kritik dan sarannya ya. Biar Nindi belajar lbh baik lagi. Terimakasi 😊
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H