Kasus LTE PLTGU Belawan saat ini menjadi sangat berbelit-belit. Menurut pandangan saya, tidak seharusnya kejaksaan menuduh PLN melanggar hukum. Disamping PLN yang berusaha agar pasokan listrik di Sumatera Utara tetap optimal namun malah menjadi kesalahpahaman. Kasus ini malah terdapat beberapa kejanggalan.
Berikut akan saya jabarkan kronologis kesalahpahaman yang berlarut-larut ini.
Pelelangan pekerjaan peremajaan LTE PLTGU Belawan telah dimulai 2009. Namun pelelangan gagal hingga di tahun 2011 dilakukan penunjukan langsung kepada Siemens. Langkah ini pun tak berhasil karena tak ada titik temu akibat Siemens menawar harga sebesar Rp 830 miliar, jauh dari pagu anggaran PLN sebesar Rp 645 miliar.
Dalam proses pemilihan langsung, awalnya ada tiga kontestan, yakni Siemens, Mapna Co, dan Ansaldo Energia. Dari ketiga perusahaan tender tersebut Mapna dinyatakan sebagai pemenang setelah Ansaldo mundur, dan Siemens dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan Rejection Condition, yaitu tidak menyampaikan total waktu penyelesaian pekerjaan dan tidak menyampaikan garansi Daya Mampu/Mega Watt yang dihasilkan).
Pemilihan langsung pemegang tender ini seharusnya diapresiasi sebagai tindakan tegas dan profesional dari PLN. Pasalnya bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi. Ini disebabkan jam operasional kedua mesin itu sudah di atas 100 ribu jam. Potensi gangguannya sangat besar bila tidak segera diremajakan sehingga berdampak pada ketersediaan listrik di Medan dan Sumatera Utara.
Bahkan PLN menyatakan Pemilihan Mapna sebagai operator pengerjaan peremajaan LTE juga telah mengikuti struktur yang benar. Semua persyaratan dan kualifikasi dimiliki PT Mapna. Pemilihan ini sangat sesuai bagi seluruh stakeholders, sesuai aturan, serta mepertimbangkan tujuan efisiensi, efektivitas, transparansi anggaran terhadap kenyataan di lapangan.
Berdasarkan penjabaran tersebut sangat aneh apabila kejaksaan menilai cara PLN ini justru melanggar hukum. Pemilihan langsung ini lebih efisien dan efektif, terutama bagi masyarakat Sumatera Utara agar pasokan listrik tetap terjaga. Ini justru upaya yang perlu di apresiasi. Ketegasan dan pengambilan keputusan yang tepat ini membuat listrik di Medan lebih optimal.
Dakwaan kejaksaan lainnya yaitu PLN merugikan keuangan negara. Ini juga sangat mengherankan dikarenakan PLN justru berhasil berhemat Rp 214 miliar, karena realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar.
Selain itu, dalam proyek ini menggunakan Anggaran PLN, bukan dari APBN. Karena itu, seandainyapun ada kerugian, bukanlah merupakan kerugian negara melainkan kerugian dari PLN.
Sudah saatnya kejaksaan mempertimbangkan kasus ini kembali dan segera melepaskan tahanan tenaga ahli dalam proyek ini. Penahanan tenaga ahli justru membuat optimalisasi PLTGU Belawan menjadi terbengkalai. Padahal penahanan ini hanya beralasan agar pengusutan kejaksaan tidak repot apabila ada persidangan, serta menjadi penjamin dari pihak PLN dan Mapna. Alasan penahanan ini terkesan kejaksaan "tidak mau ribet", namun malah masyarakat Sumatera Utara yang dikorbankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H