Mohon tunggu...
Ninda Ardhita
Ninda Ardhita Mohon Tunggu... Novelis - Pecinta Sastra

Penulis Fiksi, Tips, Fashion, Binatang, Kosmos, dan Sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelangi dari Kerajaan Pajang (Jaka Tingkir)

5 Desember 2023   15:09 Diperbarui: 5 Desember 2023   15:40 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerajaan di Tanah Jawa. pinterest/majalahkekunoan

Kerajaan Pajang adalah salah satu kerajaan di Tanah Jawa. Meskipun tidak sebesar Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang disebut-sebut sebagai penerus kerajaan tersebut. Selain itu, Kerajaan Pajang mempunyai hubunga erat dengan Kerajaan Mataram Islam.

Pendiri Kerajaan Pajang yang bernama Hadiwijaya/Adiwijaya lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir. Jaka/Joko Tingkir (ejaan Cinq Peng King Kang) merupakan raja Pajang pertama yang memerintah sejak tahun 1549 sampai 1582. Jaka Tingkir mempunyai nama asli Mas Karebet, merupakan putera Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) dan merupakan keturunan terakhir Prabu Brawijaya (Raja Majapahit).

Asal mula nama Jaka Tingkir bermula pada saat kelahiran Jaka Tingkir, ayahnya tengah menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Nyi Ageng Pengging yang tengah hamil tua melahirkan anak laki-laki di tengah-tengah pagelaran wayang beber. Bayi laki-laki itu terlahir dengan paras yang tampan disertai pelangi dan hujan lebat. Pertunjukan wayang beber pun dihentikan. Ki Ageng Tingkir memangku bayi yang telah dibersihkan tersebut sambil berkata kepada Ki Ageng Pengging bahwa anaknya yang tampan ini akan besar derajatnya dan menamai bayi itu dengan nama Mas Karebet, karena lahirnya pada saat ada pertunjukan wayang beber. Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia sepulang dari mendalang. Sebelum meninggal, Ki Ageng Tingkir sempat merawat Mas Karebet selama beberapa hari. Ki Ageng Pengging dihukum mati sepuluh tahun kemudian karena dituduh sebagai pemberontak Kerajaan Demak. Nyai Ageng Pengging pun jatuh sakit dan meninggal pula setelah kematian suaminya. Kemudian Mas Karebet diambil sebagai Anak oleh Nyai Ageng Tingkir. Mas Krebet lalu tumbuh menjadi pemuda dijuluki sebagai Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Ia gemar bertapa di gunung, hutan, atau di gua sampai lamanya setengah purnama. Suatu hari, sepulang dari bertapa ibunya (Nyai Ageng Tingkir) memeluknya dan memohon agar Jaka Tingkir tidak lagi bertapa di hutan ataupun gunung sebab perilaku tersebut masih kafir dan belum menganut agama Kanjeng Nabi. Kemudian ibundanya menyarankan agar ia berguru pada seorang Mukmin. Jaka Tingkir kemudian pamit untuk berguru kepada seorang Mukmin dan ibunya merelakan. Ia berangkat sendirian menuju utara kemudian ke timur sampai pada Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela sangat senang melihat Jaka Tingkir yang kemudian Jaka Tingkir diangkat sebagai cucunya dan sangat dimanjakan. Ki Ageng Sela semakin bertambah rasa sayangnya ketika Ki Jaka gemar mendalang hingga terkenal kepandaiannya mendalang.

Jaka Tingkir tumbuh dewasa menjadi seseorang yang sakti mandraguna. Tidak mempan ditusuk senjata setajam apapun. Hal itu disebabkan oleh pusakanya yang bernama Timang atau Kepala Ikat Pinggang Kyai Bajulgiling. Timang tersebut merupakan Timang milik Kyai Buyut dati Banyubiru yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir (Mas Karebet). Dikutip dari Babad Pengging, Timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dinamakan Kyai Bajulgiling karena bentuk mata timang seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup namun kedua matanya terbuka lebar. Timang Kyai Bajulgiling membuat siapapun yang memakainya, maka akan kebal dari egala senjata tajam dan ditakuti oleh semua binatang buas.

Jaka Tingkir pernah mengabdikan diri kepada Kerajaan Demak atas ilham dari pesan gurunya (Ki Ageng Sela). Ia tinggal bersama Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir). Jaka Tingkir diangkat sebagai kepala prajurit Demak berpangkat Lurah Wiratamtama oleh Sultan Trenggana (Raja Demak). Namun beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir dipecat dari jabatannya dan diusir dari Demak ketika bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ketika bertugas, Jaka Tingkir ingin menguji kesaktiannya pada seorang pelamar yang sombong dan suka pamer bernama Dadungawuk. Akibatnya, Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang. Jaka Tingkir pun berguru kepada Ki Ageng Banyubiru (Ki Kebo Kanigoro) yang merupakan saudara tua/kakak dari mendiang ayahnya, Ki Ageng Pengging) Ia kembali ke Demak setelah taman berguru bersama tiga murid yang lain yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Setelah wafatnya Sultan Trenggana (1546), puteranya yang bergelar Sunan Prawata yang seharusnya naik tahta tewas dibunuh oleh Arya Penangsabg (sepupunya di Jipang) pada tahun 1549. Arya penangsang membunuhnya karena Sunan Prawata sebelumnya juga membunuh ayah dari Arya Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen di tepi Bengawan Sore. Kemudian Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri (suami Ratu Kalinyamat), dan mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang. Namun pembunuhan tersebut gagal, justru Hadiwijaya menjamu para pembunuh dengan baik dan memberi mereka hadiah sehingga mempermalukan Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawata) mendesak  Hadiwijaya untuk menumpas Arya Penangsang. Hadiwijaya pun mengadakan sayembara, siapapun yabg dapat membunuh Arya Penangsang akan diberi tanah Pati dan Mentaok (Mataram) sebagai hadiah. Sutawijaya (anak dari Ki Ageng Pemanahan) berhasil menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Arya Penangsang menyeberang Bengawan Sore berkat siasat cerdik Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan). Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, kekuasaan Demak bergeser ke Pajang dengan Jaka Tingkir sebagai rajanya (1546-1586) dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukan Sultan Hadiwijaya direstui oleh Sunan Giri dan mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demak dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawata sebagai Adipatinya. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga mengangkat rekan seperguruannya dalam pemerintahan kerajan. Mas Manca sebagai patih bergelar Patih Mancanegara dan Mas Wila beserta Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat Ngabehi. Daerah kekuasaan Pajang mencakup Barat Bagelen (Lembah Bogowoto) dan Kedu (Lembah Progo Atas).

Pada tahun 1568, diadakan pertemuan antara Hadiwijaya (Raja Pajang) dengan penguasa negeri-negeri di Jawa Timur dengan mediator Sunan Prapen. Pada pertemuan itu, Sunan Prapen meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan oleh Mataram melalui keturunan Ki Ageng Pemanahan. Ramalan tersebut terbukti pada putera Ki Ageng Pemanahan yang bernama Sutawijaya. Sepeninggalan Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya diangkat oleh Sultan Hadiwijaya menjadi penguasa baru Mataram dan diberi hak untuk menghadap selama sepuluh tahun. Namun Sutawijaya tidak pernah menghadap setelah setahun berlalu. Hadiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Tanpa disangka, Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun, kedua Ngabehi itu berhasil menenangkan hati Hadiwijaya dengan penyampaian secara halus.

Beberapa tahun kemudian kemajuan Mataram semakin pesat, Hadiwijaya mengirim utusan kembali untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Pangeran Benawa (putera mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi Adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Raden Rangga (putera sulung Sutawijaya) membunuh salah seorang prajurit Tuban pada saat jamuan pesta yang diadakan untuk ketiganya. Pada riwayatnya, Arya Pamalad kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga. Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, berbeda halnya dengan penjelasan Pangeran Benawa yang berkatlta bahwa kejadian tersebut hanyalah kecelakaan.

Pada tahun 1582, Raden Pabelan (seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang) dihukum mati karena menyusup untuk menemui Ratu Sekar Kedaton (puteri bungsu Hadiwijaya). Tumenggung Mayang (ayah dari Raden Pabelan) dijatuhi hukuman buang karena diduga membantu anaknya dalam pentusupan. Ibunda Raden Pabelan yang merupakan adik dari Sutawijaya meminta bantuan kepada Mataram. Sutawijaya megirimkan utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangan. Perbuatan Sutawijaya tersebut menjadi alasan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua kerajaan besar tersebut pun meletus. Pasukan Pajang berjumlah lebih banyak dibanding dengan pasukan Mataram, namun sayangnya Pajang menderita kekalahan. Gunung Merapi yang tiba-tiba meletus membuat Sultan Hadiwijaya semakin terguncang. Lahar panas Gunung Merapi menerjang pasukan Pajang yang berperang di dekat gunung tersebut. Hadiwijaya pun menarik mundur pasukannya. Sultan Hadiwijaya jatuh dari punggung gajah yang ia tunggangi ketika perjalanan pulang, sehingga terpaksa harus naik tandu. Sesampainya di Pajang, Sultan Hadiwijaya diganggu oleh mahluk halus kiriman Sutawijaya. Mahluk halus bernama Ki Juru Taman memukul dada Hadiwijaya dan membuat sakitnya bertambah parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun