Ketika petir menyambar dinginnya malam, seketika luruh airmataku.Heningnya malam ini membuat suara tangisku semakin terdengar. Tangis karna mendengarnya berkata “aku benci sama kamu,kamu itu gag pernah ngertiin gimana pengorbananku, kamu cuma mikirin dirimu sendiri, kamu tu egois, coba kamu jadi aku, aku hampir saja kehilangan nyawaku karna kamu, sekarang kita PUTUS!”, seketika itu juga telepon terputus.
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang dalam benakku.Sejenakku berfikir, harus sampai sinikah hubungan ini. Setelah setengah tahun kujalani cinta ini dengannya. Hanya karena aku menolak untuk dya jemput, padahal dya sudah menunggu didepan sekolahanku. Aku tau itu kesalahanku, tapi haruskah itu akhirnya?
Aku berusaha menjelaskannya, tapi dya tak mau tahu. Yang dya tahu hanyalah aku menolak ajakan pulang bareng dengannya. Dan dya merasa aku telah mengingkari janji, begitu marahnya dya ke aku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya aku pasrah saja, tangisku sudah tak ada artinya lagi untuknya, mau aku nangis tujuh hari tujuh malam pun dya tidak perduli lagi. Aku hanya menangis saja semalaman itu. Aku bingung, cinta pertama sekaligus pacar pertamaku pergi karena kesalahan kecilku. Seketika terbesit dibenakku bayangan ketika bersamanya, terbayang ketika janji-janji manis terucap dari bibirnya, begitu indah. Tapi, itu semua kini telah musnah, musnah karna keegoisan semata. Semalaman itu aku tidak tidur, hanya menangis, menangis, dan menangis. Hingga esok harinya mataku bengkak. Aku tidak berani bilang sama ibuk, karena memang aku tidak diperbolehkan pacaran terlebih dahulu.
Setiap hari aku hanya bisa marah-marah saja, entah itu siapa kalau aku gag suka langsung marah-marah gak jelas. Berhari-hari, berminggu-minggu aku masih belum bisa melupakannya. Walaupun aku berusaha banget buat lupain tapi itu sangatlah sulit. Selalu terlintas bayangan dirinya. Hingga pada suatu saat ada seseorang yang berbicara kepadaku. Dia bilang kepadaku “ tak usah berusaha untuk melupakannya, karna aku tau itu sangat sulit untukmu, tapi bersikap biasalah kepadanya, itu adalah lebih mudah kamu menjalaninya. Seiring berjalannya waktu pasti kamu akan terbiasa tanpa kehadiran dirinya.”
Seketika itu juga aku sadar, betapa bodohnya aku. Berusaha mati-matian untuk lupakannya, yang itu membuatku menjadi semakin ingat akan dirinya. Akhirnya sekarang aku bisa bersikap biasa kepadanya, itu semua berkat seseorang itu. Terima kasih untukmu yang telah menyadarkanku. Dan sekarang aku bisa berkata, “Selamat Tinggal Cinta Pertamaku sekaligus Pacar Pertamaku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H