Konsumsi merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga dalam rangka membelanjakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa mereka. Dalam ekonomi makro, konsumsi memiliki fungsi sebagai penghubung antara laju pengeluaran dan laju pendapatan nasional. Konsumsi memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Dari tahun ke tahun konsumsi menyumbang lebih dari 50% dari jumlah total PDB. Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sebesar 56,82% pada PDB. Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga merupakan komponen utama yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Di tahun 2020 ini, seperti yang kita tahu, tidak hanya Indonesia, namun seluruh dunia berada dalam kondisi pandemi yang diakibatkan oleh adanya virus dari China yang kita sebut sebagai virus corona atau Covid 19. Virus ini memberikan efek yang cukup besar terhadap kesehatan dunia, tidak hanya kesehatan manusia, namun kesehatan ekonomi juga terdampak oleh virus ini. Pada awal April 2020, pemerintah Indonesia sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun menjadi 2,3% atau bahkan pada skenario yang terburuk, pertumbuhan ekonomi akan turun mencapai 0,4%. Hal ini disebabkan karena beberapa variabel suntikan dalam PDB mengalami penurunan. Konsumsi yang menjadi penyumbang terbesar PDB mengalami penurunan sebesar 3,2% hingga 1,2%. Tidak hanya konsumsi, investasi yang diperkirakan akan mengalami kemajuan ditahun ini juga mengalami kemerosotan. Ekspor yang memang pertumbuhannya sudah negatif sebelum adanya pandemi, akan mengalami keterpurukan yang lebih dalam lagi.
Data yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa pada kuartal 1 2020, pertumbuhan ekonomi di Indonesia  hanya sebesar 2,97%. Data tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kuartal IV 2019 yang mencapai 4,97%, meskipun masih dianggap baik karena perekonomian masih bisa tumbuh positif dimasa pandemi. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan jumlah ekspor Indonesia ke beberapa negara, yang diantarnya adalah China, Amerika, Singapura, dan Korea. Penurunan ekspor diakibatkan oleh kebijakan beberapa negara yang menerapkan sistem lockdown atau pembatasan akses keluar masuk di sebuah negara untuk mencegah perkembangan virus corona, hal inilah yang mengakibatkan arus perdagangan internasional (ekspor dan impor) terganggu.
Perekonomian masyarakat sangat terdampak karena adanya pandemi ini, ada dua sisi yang berdampak pada rumah tangga, yaitu sisi penurunan pendapatan serta sisi keterbatasan ruang konsumsi masyarakat. Pemerintah menyatakan bahwa dimasa pandemi ini, konsumsi rumah tangga mengalami penurunan yang cukup drastis. Penurunan konsumsi rumah tangga ini disebabkan karena adanya penurunan daya beli masyarakat yang merupakan dampak dari adanya PHK besar-besaran (tercatat per Juli 2020 lebih dari 3,7 juta pekerja yang kehilangan pekerjaan) yang dilakukan oleh perusahaan sehingga pendapatan masyarakat menurun secara signifikan. Selain PHK besar-besaran, beberapa kebijakan yang dilakukan perusahaan memiliki dampak yang cukup serius terhadap pendapatan masyarakat, antara lain pengurangan gaji, pengurangan jam kerja, serta  merumahkan karyawan. Secara keseluruhan, virus ini memberikan dampak kepada 29,12 juta penduduk usia kerja, yang sebagian besar dari mereka mengalami pengurangan jam kerja.
Sedangkan untuk sisi keterbatasan ruang konsumsi, maksudnya adalah pada masa pandemi pemerintah menerapkan kebijakan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menyebabkan mobilitas masyarakat sangat dibatasi. Sehingga masyarakat lebih memilih di rumah daripada membelanjakan uangnya, sehingga PSBB juga memiliki pengaruh terhadap konsumsi rumah tangga.
Perilaku rumah tangga untuk konsumsi dimasa pandemi ini sejalan dengan teori konsumsi yang dikemukakan oleh Irving Fisher, di mana seseorang mempunyai pertimbangan untuk melakukan konsumsi berdasarkan kondisi pada saat ini dan kondisi dimasa yang akan datang. Konsumen cenderung membuat skala prioritas untuk barang yang mereka beli, lebih mengutamakan kebutuhan pokok daripada kebutuhan barang yang tidak mendesak karena terbatasnya anggaran yang mereka miliki. Hal ini dilakukan dengan tujuan dikemudian hari mereka tetap dapat melakukan konsumsi dengan sisa uang yang mereka miliki.
Penurunan pendapatan rumah tangga semakin menyebabkan ketidakpastian dalam kesejahteraan rumah tangga itu sendiri. Daya beli masayarakat menurun sehingga rumah tangga mengurangi konsumsi mereka. Pada kuartal 1 2020, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 2,84%. Pemerintah tidak diam saja melihat penurunan konsumsi rumah tangga ini, karena meskipun mengalami penurunan, konsumsi rumah tangga tetap menjadi komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020, sehingga pemerintah harus mengatasi masalah konsumsi ini. Pemerintah telah mengucurkan dana bantuan sosial (bansos) untuk membantu mendorong konsumsi rumah tangga, meskipun pada kenyataannya dana bansos ini tidak dapat menggantikan penurunan pendapatan rumah tangga, namun hanya digunakan untuk menahan penurunan konsumsi yang lebih dalam lagi (menjaga daya beli masyarakat).
Pada kuartal II 2020, konsumsi rumah tangga Indonesia semakin lesu, pertumbuhannya mencapai minus 5,51%. Konsumsi rumah tangga yang biasanya menyumbang lebih dari 50% pada total PDB, di kuartal II ini konsumsi rumah tangga tidak dapat menopang pertumbuhan ekonomi secara maksimal, karena hanya dapat menyumbang seperempat dari biasanya. Hal ini disebabkan oleh adanya seruan dari pemerintah mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan dibeberapa daerah, sehingga menyebabkan mobilitas masyarakat sangat terbatas yang mengakibatkan pengurangan aktivitas masyarakat di luar rumah. Selain itu, masyarakat semakin berhati-hati dalam mengeluarkan uangnya. Hal ini tentu mengakibatkan seluruh komponen konsumsi rumah tangga mengalami penurunan.
Hanya terdapat dua komponen konsumsi rumah tangga yang mengalami pertumbuhan itupun pertumbuhan yang cenderung lambat, yaitu komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga serta komponen pendidikan dan kesehatan. Melemahnya daya beli masyarakat ini juga mengakibatkan tingkat inflasi Januari-Juli sebesar 0,98% (sangat rendah). Penjualan barang mewah seperti mobil dan motorpun mencapai -70,4% dan -79,7%, tidak hanya itu, hotel dan restoran juga mengalami pertumbuhan minus, di samping itu, indeks kepercayaan konsumen pada kuartal II ini juga mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu sebesar 33,7%.
Konsumsi rumah tangga masyarakat Indonesia pada kuartal III mengalami peningkatan, meskipun pertumbuhannya masih bernilai negatif. Menurut data dari BPS, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar minus 4,04%, yang berarti pada kuartal ini mengalami pertumbuhan yang lebih baik dari kuartal sebelumnya yang mencapai minus 5,51%. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa stabilitas pada sistem keuangan kuartal III ini cukup normal dan terjaga. Dengan kondisi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan bahwa konsumsi rumah tangga pada kuartal IV akan mendekati titik 0%.
Konsumsi rumah tangga merupakan komponen utama yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Untuk itu, pemerintah harus berupaya untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat saat pandemi seperti sekarang ini agar konsumsi rumah tangga tumbuh positif, sehingga ekonomi nasional akan segera pulih secara perlahan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong daya beli masyarakat berpenghasilan rendah serta meningkatkan konsumsi rumah tangga adalah dengan mengeluarkan dana sebesar Rp203,9 triliun yang digunakan untuk perlindungan sosial. Perlindungan sosial merupakan salah satu Program Ekonomi Nasional (PEN) yang didistribusikan melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Sosial (bansos), subsidi listrik, dana desa, serta Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan langsung tunai yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan kepada karyawan swasta yang gajinya 5 juta atau ke bawah per bulannya, sebesar Rp600.000 per orang.
Untuk menghindari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang semakin melambat, pemerintah telah memutuskan untuk membuat kebijakan alternatif yang diharapkan akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga, seperti insentif pajak, pembebasan tarif, serta penyesuaian aturan bersama  produsen dengan tujuan agar harga-harga barang dan jasa dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu, pemerintah juga memberikan stimulus untuk para pelaku usaha baik usaha kecil maupun besar agar dapat terdorong untuk bergerak dimasa pandemi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar konsumsi rumah tangga semakin meningkat.
Kurang lebih 86,51% (sekitar Rp176,38 triliun) dari total dana perlindungan sosial telah terealisasi. Pendistribusian perlindungian sosial hingga kuartal III dinilai mampu mengentaskan 3,43 juta orang dari kemiskinan, terutama pada masyarakat kalangan bawah yang dinilai mendapat bantuan sosial paling banyak. Konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dengan adanya program perlindungan sosial ini, tingat kemiskinan yang diprediksi akan mencapai 10,96%, dapat ditekan sampai 9,69%. Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa program perlindungan sosial yang diberikan pemerintah sangat efektif untuk membantu mempertahankan bahkan meningkatkan daya beli masyarakat kalangan bawah sehingga dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Beberapa pihak menilai pemerintah hanya fokus memberikan bantuan kepada masyarakat kalangan bawah, sehingga bantuan yang diberikan kepada masyarakat kalangan atas semakin berkurang. Padahal dampak yang ditimbulkan dari virus corona terhadap seseorang tidak melihat latar belakang ekonomi seseorang tersebut. Banyak pengusaha yang gulung tikar akibat merebaknya virus corona ini, banyak pengusaha yang kekurangan modal karena lesunya daya beli masyarakat sehingga produk mereka terbengkalai, banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi karyawannya karena tidak mampu membayar upah, dan masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kalangan atas. Sehingga diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan yang seadil-adilnya bagi masyarakat yang perekonomiannya terkena dampak dari virus corona entah dari kalangan bawah ataupun kalangan atas.
Meskipun dinilai sudah efektif dalam meningkatkan konsumsi rumah tangga, pendistribusian perlindungan sosial tidak sepenuhnya tepat sasaran. Dibeberapa daerah, pemerintah tidak menggunakan data kependudukan atau data kemiskinan yang terbaru dalam mendistribusikan dana perlindungan sosial. Alhasil banyak masyarakat yang dirasa sudah mampu masih mendapatkan dana bantuan, sedangkan yang dulunya kaya tetapi sekarang tidak mampu, tidak mendapat bantuan. Selain kasus tersebut, ada juga kasus di mana seseorang sudah meninggal dunia, tetapi masih terdata mendapatkan bantuan, hal ini menimbulkan perdebatan dalam masyarakat, karena masih banyaknya orang yang belum menerima bantuan tersebut.
Hal di atas membuktikan bahwa kurangnya kesiapan pemerintah dalam mendistribusikan dana perlindungan sosial ini. Kurang siapnya pemerintah juga terlihat pada ketidakjelasan data pemetaan penerima bantuan sosial. Pemerintah tidak memberikan penjabaran pada sasaran penerima dana bantuan tersebut, entah itu hanya untuk masyarakat miskin, atau seluruh masyarakat yang terdampak oleh Covid-19 ini, karena pada dasarnya tidak hanya perekonomian rakyat miskin yang terdampak Covid-19. Memang tidak dapat dipungkiri jika pemerintah melakukan kesalahan, karena selain dituntut cepat pemerintah juga harus mencocokkan data secara tepat dan akurat, padahal untuk meneliti data puluhan juta membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Tidak hanya sampai di situ, dalam kondisi masih belum meratanya dana bantuan sosial dari pemerintah kepada masyarakat, adanya kasus korupsi dana bantuan sosial Covid-19 yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara membuat masyarakat semakin terpukul. Beliau yang seharusnya menyelesaikan masalah pemerataan dana bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat, tetapi malah menambah masalah dengan mengambil hak rakyat dengan cara korupsi dana bantuan sosial tersebut. Pendistribusian dana bansos dalam bentuk sembako memang rawan terjadi penyelewengan. Penyelewengan ini biasanya dilakukan dengan adanya pihak yang meminta kick back atau fee, dan nilai sembako tidak sesuai dengan nominal bantuan yang seharusnya diberikan. Mensos Juliari mengkorupsi dana bantuan sosial sebesar Rp17 miliar dengan cara mengambil sebesar Rp10.000 dari setiap paket sembako yang hanya sebesar Rp300.000, padahal dari tiap Rp10.000 yang ia ambil banyak harapan orang yang benar-benar membutuhkan di dalamnya.
Hal tersebut tentu menjadi pukulan terhadap pemerintah. Selain itu, kasus ini harus menjadi evaluasi, tidak hanya pendistribusian dana bantuan, tetapi seluruh kinerja yang dilakukan pemerintah. Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam melaksanakan sebuah kebijakan, yang mana sangat mempengaruhi kesejahteraan serta kepercayaan masyarakatnya. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dan awas. Tegas berarti berani memberikan hukuman yang seberat-beratnya terhadap seseorang yang mengambil keuntungan di tengah masa sulit bangsa dan negara karena pandemi sekarang ini. Sedangkan awas, berarti pemerintah harus selalu memberikan pengawasan dan pemantauan entah itu pendistribusian dana kepada masyarakat, atau pelaksanaan kebijakan lainnya agar tidak terjadi penyelewengan di tengah jalan, sehingga tujuan baik dari sebuah kebijakan akan terwujud.
Untuk itu, diharapkan pemerintah mendistribusikan dana bantuan sosial dalam bentuk uang tunai saja, karena dinilai lebih mudah diawasi, ditelusuri, dan diaudit dengan jejak transaksi yang ada. Sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan adanya korupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, dengan diberikan uang tunai, dianggap lebih efektif dalam meningkatkan daya beli masyarakat, yang akan meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H