Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Warita Dalam Lara

16 Januari 2025   09:51 Diperbarui: 16 Januari 2025   10:00 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumen pribadi by Canva

Malam mulai menyelimuti desa kecil itu. Suara desir  dedaunan terdengar lembut disapu angin. Lolongan anjing liar terdengar sesekali. Langit gelap hanya diterangi oleh bulan yang sinarnya suram seolah merasakan kesedihan seorang gadis yang tengah dilanda kerinduan.

Di sudut kamar lentera berkedip lemah, menerangi secarik kertas kosong di tangan Kinasih yang sedang duduk seraya memeluk erat lututnya. Udara dingin merayap dari celah-celah bilik bambu, mengigit hingga ke tulang, tetapi tidak sebanding dengan dinginnya suasana hati yang dia rasakan.

Kinasih meremas kertas itu sedikit sebelum meluruskannya kembali. Otak dan hatinya bergabung, mencoba merangkai kata-kata untuk seseorang yang paling dia rindukan. Sejak ibu pergi bekerja ke Arab Saudi sebagai TKW, hidupnya terasa hancur. Sejak usianya delapan tahun dirinya tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu seperti anak-anak lainnya.

Ayah... ah, ingin rasanya Kinasih menghapus namanya. Namun, bayangan wajah pria itu sulit untuk dihindari. Ayah selalu membuat air matanya mengalir daripada kedamian hati. Ayah adalah sosok yang selalu dibencinya dibandingkan ibu yang senantiasa dia rindukan.

Sudah terlalu banyak luka yang tergores dalam hatinya. Ayahnya sering pulang larut malam, dengan bau alkohol menyengat dan langkah sempoyongan. Tak jarang suara gaduh pintu yang dibanting atau barang yang dilempar menjadi alarm bagi Kinasih bahwa malam itu tidak akan tenang. Di sudut kamar Kinasih dan nenek hanya bisa diam, berdoa agar ayah tidak mendekat, tidak melampiaskan amarah yang tak pernah mereka pahami sumbernya.

Uang kiriman ibu  seharusnya menjadi penyambung hidup mereka, kerap hilang. Ayah selalu menemukannya meskipun nenek selalu menyelipkan amplop berisi uang itu di tempat rahasia. Dengan suara tinggi ayah memaksa nenek menyerahkan semuanya.

Kinasih sering melihat nenek menangis di dapur, menggenggam sisa uang yang berhasil ia selamatkan. Uang itu digunakan untuk membeli beras, atau membayar biaya sekolah Kinasih. Mereka hanya bisa makan seadanya. Nenek terpaksa menjual cincin kawinnya, dan Kinasih tahu itu bukan karena ia ingin. Ayah telah menghabiskan segalanya.

Baca juga: [Cerpen] Pulang

Rasa marah, takut dan kecewa menyatu menjadi simpul yang sulit diurai dalam hatinya. Kinasih memendam semuanya. Setiap dirinya bertanya kepada Ayah, hanya amarah yang dia terima.

Kinasih sering bertanya-tanya. Apakah ayah selalu seperti ini? Apakah ia dulu pernah mencintai ibu? Atau kehidupan yang keras mengubah Ayah? Pertanyaan itu tak pernah terjawab kecuali perasaan bahwa kehadiran ayah adalah bayangan gelap dalam hidup Kinasih dan Nenek.

Jika bukan karena nenek yang selalu berusaha melindungi, mungkin Kinasih sudah menyerah. Setiap kali ia menghentikan harapan, wajah ibu muncul dalam pikirannya. Ibu yang bekerja siang dan malam di negeri orang, berjuang agar mereka bisa hidup lebih baik. Ibu yang mengirimkan cinta dari ribuan kilometer jauhnya. Dan itulah yang membuat Kinasih tetap bertahan, meski ayahnya terus merampas banyak hal dari hidup mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun