Rini mengangguk pelan.
"Kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin sekali lanjut sekolah?" tanya Listi sambil memandang Rini lembut.
 "Karena... saya ingin jadi orang sukses, Bu. Kalau cuma berhenti di SMP, nanti saya nggak bisa cari kerja bagus. Saya nggak mau terus-terusan hidup susah seperti ini," jawab Rini seraya mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata,
Mata Listi mulai terasa panas. Ia teringat dirinya sendiri sewaktu kecil, berjuang melawan kemiskinan dan ketidakpastian, sama seperti Rini sekarang.
"Rini," kata Listi pelan, "kamu tahu, langit di luar sana selalu luas, kan? Walaupun kita melihatnya dari jendela kelas ini yang kecil, langit itu sebenarnya nggak pernah terbatas. Sama seperti masa depanmu."
Rini menatap Listi dengan bingung. "Maksud Ibu?"
Listi tersenyum, mencoba menjelaskan dengan cara yang sederhana. "Kadang, kita merasa seperti terjebak di ruangan sempit, seperti di kelas ini. Jendela kecil itu seolah membatasi pandangan kita. Tapi, sebenarnya, langit di balik jendela itu jauh lebih besar. Sama seperti kamu. Mungkin sekarang kamu merasa tidak punya banyak pilihan karena keadaan keluargamu. Tapi kalau kamu tetap berusaha, tetap bermimpi, kamu pasti bisa menemukan jalan ke luar dari ruangan sempit ini."
"Tapi, Bu... kalau nggak ada uang, apa bisa?" Rini terdiam, mencerna kata-kata itu. Dia belum paham dengan makna ucapan Listi.
Listi mengangguk mantap. "Bisa, Rini. Ibu akan bantu cari solusinya. Mungkin kita bisa bicara dengan kepala sekolah, cari beasiswa, atau cari bantuan lain. Yang penting kamu jangan berhenti bermimpi. Jangan biarkan keadaan menghentikan langkahmu."
Rini kembali menunduk, kali ini bukan karena sedih, tapi karena merasa harapan kecil mulai tumbuh di hatinya. "Bu Listi... terima kasih."
"Tidak perlu terima kasih," jawab Listi. "Yang penting, kamu terus semangat. Ibu di sini untuk mendukung kamu."