Ketika ku menua, waktu jadi tirai senja,
Menyingkap kenangan di punggung cakrawala,
Langkah-langkah tua tersapu jejak usia,
Namun harapan tetap bersemayam di dada.
Rambut perak ini, tak lain hanya saksi,
Bagaimana badai membentuk pelangi,
Kulit yang keriput, seperti peta sejarah,
Mengurai kisah hidup yang tak pernah lelah.
Pernahkah kau tahu, hati ini tak pernah renta?
Ia tetap berlari di ladang mimpi,
Meskipun tubuhku rapuh seperti dedaunan kering,
Jiwaku nyala, bagai lilin yang tak henti berjuang.
Dalam cermin yang buram, ada ironi tersimpan,
Betapa waktu mengajar kita terlambat memahami,
Bahwa hidup adalah puisi yang ditulis sembari,
Kita mengeja kata-kata tanpa tahu arti.
Ketika ku menua, aku belajar menertawai luka
Menyulam patah menjadi kain hikmah
Karena masa lalu bukan beban yang mencengkeram
Melainkan pelajaran yang memahat jiwa perlahan
Janganlah takut menua, karena di sanalah rahasia
Bahwa setiap retak membawa cahaya
Dan meski daun berguguran, akar tetap setia
Menancap erat di bumi cinta dan doa
Cibadak, 2 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H