Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Pengujung Masa

11 Desember 2024   00:02 Diperbarui: 11 Desember 2024   18:07 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.sonora.id/read/

Kamar 301 Edelwis rumah sakit itu sunyi, hanya diisi bunyi jam dinding yang berdetak pelan, seolah menghitung waktu yang terus berjalan tanpa henti. Dindingnya berwarna putih pucat, membawa aura kelam yang pekat. Sinar mentari menyelinap di antara dua jendela kecil,  terasa muram ketika bertemu dengan tirai biru pudar yang melambai perlahan oleh embusan angin.

Aku melihat sosok kaku terbujur di atas ranjang. Raga seorang gadis yang sangat mirip denganku. Ya itu tubuhku, tetapi mengapa aku ada di sini? Aku terpisah dari ragaku sendiri?  Arwahku melayang tenang di atas ruangan, menyaksikan tubuhku yang terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Jasadku tampak damai penuh keikhlasan, sementara orang-orang terkasih mengelilingiku. Mereka terhanyut dalam tangis yang menghadirkan suasana duka.

Ibu memegang tangan dinginku, meremas dengan harapan bahwa apa yang terjadi hanya sebuah mimpi dan aku akan terbangun. Sementara ayah memalingkan wajahnya, menyembunyikan air mata yang mengalir tanpa henti. Sahabat-sahabatku berdiri terdiam, menatap kosong ke tubuh yang pernah membawa keceriaan di kehidupan mereka. Dari atas, aku menghela napas tanpa suara, ingin berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku ingin mengatakan bahwa cinta mereka telah cukup untuk mengiringiku menuju keabadian. Namun, hanya kesunyian yang aku dapatkan, menggantikan rasa sakit yang kini tak lagi terasa.

Aku masih ingat tentang peristiwa yang terjadi tadi malam. Saat itu aku terbaring di tempat tidur rumah sakit, menatap kosong ke luar jendela. Berbagai kabel dan selang masih memenuhi hidung dan tubuhku.

Rambutku yang dulu panjang dan hitam kini hanya tersisa beberapa helai  Tubuhku kurus hingga tulang-tulang mencuat jelas di balik kulit yang pucat dan tipis. Pipi yang dulu penuh kini cekung, mempertegas garis rahang yang terlalu tajam. Pergelangan tanganku kecil, kurus seperti ranting yang siap patah. Kaki dan lenganku tak lebih dari kerangka, tak lagi mampu menopang berat tubuh yang sudah menyusut jauh. Mata yang dulu bercahaya kini tampak suram, memancarkan kelelahan yang tak mampu disembunyikan. Napas yang pelan, teratur meski berat, menjadi tanda bahwa kehidupan masih bersemayam di tubuhku. Namun, di balik tubuh yang lemah, ada asa yang tersisa karena masih ada sesuatu yang ingin aku perjuangkan.

Di sudut ruangan, Baruna berdiri diam, memandangku dengan tatapan penuh cinta. Aku tak tahu apakah yang ada di dalam hati cowok itu benar-benar ketulusan cinta atau sekadar rasa iba dengan penderitaanku.

Sore itu, seperti biasa ia datang dengan setangkai mawar putih di tangannya, seperti ritual yang tak pernah terlewatkan. Baruna menyerahkan setangkai mawar putih kepadaku, senyumnya penuh kehangatan. "Untukmu, seperti biasa," ucapnya lembut.

"Kenapa selalu mawar putih, Baruna? Bukankah bunga lain juga cantik?" tanyaku sambil menatap dalam mata lelaki itu. Aku menerima bunga itu dengan senyum kecil, ujung jariku menyentuh kelopak mawar yang segar.

"Mawar putih itu ... sederhana, tapi bermakna. Ia melambangkan cinta yang tulus, tanpa syarat, seperti yang selalu kuberikan untukmu." Baruna menghela napas pelan, seakan sedang merangkai kata yang full romantis.

"Cinta suci, ya?" gumamku hampir berbisik. Aku terdiam sejenak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun