Kata-kata itu menyakitkan, namun Satria berusaha tetap tenang. Ia tahu bahwa kemampuannya tidak bisa diremehkan. Namun, ketika akhirnya nama-nama yang diterima diumumkan, hati Satria hancur. Kedua nama yang disebutkan adalah mereka yang berbicara bersamanya tadi, sementara namanya tidak ada di daftar.
"Maaf, Satria. Kamu sangat berbakat, tapi ada beberapa pertimbangan lain," kata seorang tim pewawancara dengan nada yang mencoba terdengar simpatik. "Kamu pasti akan menemukan tempat yang lebih baik."
Dengan berat hati, Satria meninggalkan gedung megah itu. Kedua kandidat itu tersenyum mengejek saat Satria berpapasan dengan mereka. Kekecewaan mendalam melanda hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia merasa dunia ini tidak adil.
Satria berjalan tanpa tujuan di taman kota yang sepi. Malam di taman memancarkan keheningan yang memikat. Cahaya bulan memercik lembut di atas dedaunan, menciptakan bayangan tipis yang bergerak perlahan tertiup angin. Lampu-lampu taman berpendar kuning keemasan, menyelimuti jalan setapak dengan nuansa damai. Aroma tanah basah dan wangi bunga kamboja menguar, menyatu dengan desiran air mancur kecil di tengah taman yang terus mengalir tanpa henti.
Dia berharap suasana taman dapat mengobati kegundahannya. Di sana, ia bertemu dengan para Punakawan yang kerap ditontonnya dalam pertunjukkan wayang. Tokoh-tokoh yang sangat dikagumi dengan kebijakan dan kesabarannya. Mereka tampak sedang bercengkerama, seperti biasa, dengan tawa dan canda yang khas.
"Eh, lihat siapa yang datang," kata Petruk sambil mengangkat alis. "Pemuda yang tampak penuh beban."
Gareng mendekat dan menepuk bahu Satria dengan lembut. "Nak, tampaknya wajahmu menunjukkan kekecewaan yang dalam. Apa gerangan yang membuat hatimu gundah gulana?"
Satria menghela napas panjang. "Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintahan. Saya bahkan mendapatkan nilai tertinggi. Namun, saya tidak punya 'titipan' atau 'koneksi' sehingga saya harus kalah dari mereka yang punya pejabat sebagai penjamin."
"Ah, kisah lama yang selalu berulang. Negeri ini memang sudah terjangkit penyakit kronis bernama korupsi, nepotisme, oligarki dan hidden ambition," ucap Petruk dengan nada miris.
"Betul sekali, Petruk. Padahal, orang-orang seperti Satria ini yang seharusnya memimpin dan membangun negeri, bukan mereka yang hanya bisa menjadi boneka pejabat." Gareng berkata sambil menunjukan jempolnya.
"Tidak usah terlalu dipikirkan, Nak. Rejeki tidak hanya dari satu pintu. Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik," ujar Semar mendekat dan menatap Satria dengan bijak, "Satria, negeri ini memang penuh dengan oligarki dan ambisi pejabat yang hanya mementingkan diri sendiri.Â