Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Jalan Menuju Rindu

16 September 2024   22:50 Diperbarui: 16 September 2024   23:13 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Malam menjelang dini hari, menyisakan sisa angin yang dinginnya menembus hingga ke tulang. Langit pekat tanpa bintang, seolah menyelimuti bumi dengan kelam yang tak berujung. Sepi melingkupi kota, hanya sesekali terdengar suara deru kendaraan yang melintas seperti bayangan. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup kekuningan, menyaksikan detik-detik terakhir malam sebelum fajar menyingsing.

Bimo melangkah pelan, menyusuri trotoar yang basah oleh embun. Sepatunya beradu dengan beton yang dingin, menghasilkan irama lembut yang hanyut di antara tiupan angin. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam, berharap mengusir rasa lelah yang menggantung di bahunya, tetapi yang ia hirup hanya udara basah yang membawa aroma hujan yang belum turun. Ada kekosongan di udara, kekosongan yang sama yang selalu ia rasakan di dalam hatinya. Hampa yang kerap ia rasakan dalam jiwanya selama ini.

Malam adalah kawannya, sahabat setia yang membungkusnya dalam diam, menutupi luka-luka yang ia sembunyikan dari dunia. Di setiap sudut gelap ini, Bimo menyembunyikan dirinya---seorang pria yang terperangkap dalam hidup yang tak ingin ia pilih. Malam menjadi saksi bisu rutinitasnya yang berulang, pekerjaan yang penuh dosa, tetapi tak pernah memberinya kebahagiaan.

Namun, malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengintip dari celah-celah kesunyian, sebuah suara yang asing namun menenangkan. Bimo berhenti. Di kejauhan, samar-samar terdengar alunan yang tak biasa. Bukan suara kendaraan atau derit pintu, melainkan lantunan syahdu dari pengeras suara masjid yang mengalunkan salawat Nabi.

"Shallallahu ala Muhammad, shallallahu ala wassallam, Shallallahu ala Muhammad, shallallahu ala wassallam,. Anta syamsun anta badrun, anta nrun fauqo nrin. Anta syamsun anta badrun, anta nrun fauqo nrin. Anta iksrun wa ghl, anta mishbhush-shudri. Y habb y Muhammad, y 'arsal-khfiqoini. Y habb y Muhammad, y 'arsal-khfiqoini. Y mu-ayyad y mumajjad, y immal qiblataini...."

Suara salawat itu seolah memasuki celah-celah hatinya yang beku. Bimo terdiam. Jantungnya berdegup tak beraturan, seakan diseret oleh arus kuat ke tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya---tempat di mana ruang hampa nuraninya mulai terisi. Suara itu tidak hanya singgah di telinganya, tapi juga menyentuh bagian terdalam jiwanya, tempat yang telah lama ia tinggalkan.

"Mengapa begitu kuat rasa itu hinggap di hatiku." Bimo bertanya pada dirinya sendiri.

Bimo berhenti. Sesuatu dalam dirinya bergetar. Lantunan itu terasa begitu menyejukkan di telinga, menyusup ke dalam jiwanya yang selama ini terhimpit gelap. Ia menutup mata, berusaha meredam suara hatinya yang tiba-tiba berontak. Ada yang asing, tetapi tidak ia ingkari---rindu. Rindu kepada seseorang yang namanya tak pernah lagi ia dengar dengan khusyuk, Rasul Muhammad.

Ia tertunduk, tubuhnya bergeming tubuhnya mulai dingin yang semakin menusuk. Di dalam kepalanya, sebuah pergulatan dimulai. Rindu itu terus menyelinap, meski ia mencoba menepisnya. Ia merasa tak pantas. Pekerjaan yang selama ini ia jalani penuh dosa, hidup yang ia geluti kotor. Tangannya penuh noda, jiwanya terasa berat. Bagaimana mungkin ia, seseorang yang bergelimang dengan perbuatan keji, berani merindukan Rasul yang suci?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun