Mey tidak menjawab. Dia memandangi kedua seniornya dengan tajam. Banyak yang ingin ditanyakan kepada mereka. Mas Rasya memberikan kode untuk berkumpul di meeting room.
"Tadi Komandan memerintahkan kita untuk mempercepat penyelidikan kasus Allan. Banyak yang berspekulasi tentang motif dan pelaku pembunuhan itu. Apalagi di media sosial sudah banyak yang mempertanyakan kinerja kita." Mas Brama berbicara sambil mengeluarkan beberapa laporan dari dalam tasnya.
"Tadi para wartawan datang menyerbuku. Mereka mempertanyakan kejelasan kasus ini," tambah Mas Rasya.
Meylana maklum jika para wartawan itu menanyakan kepada para seniornya karena sejak awal keduanya yang ditugasi menangani masalah ini. Sementara Meylana hanya membantu kedua seniornya itu.
"Saya tidak bisa berhenti memikirkan tentang kain yang disebutkan Allan dalam buku hariannya. Kita harus memeriksa loteng vila itu lagi," kata Meylana dengan tegas saat mereka bertiga berkumpul.
"Coba kita teliti lagi buku harian Allan. Mana bukunya?" tanya Meylan kepada kedua seniornya.
Mas Brama mengeluarkan buku harian yang belum dia simpan sebagai barang bukti. Mereka masih membutuhkan buku diari dan kain itu untuk penyelidikan.
Meylana membuka-buka buku harian Allan yang hanya terisi separuh halaman saja."Coba lihat apa yang dituliskan Allan seminggu sebelum dia dan isterinya tewas," ujar Mey sambil menunjukkan halaman buku yang dimaksudnya.
Semalam aku menemukan kain bertuliskan huruf Cina kuno di lemari buku milik papi. Sejak malam itu aku selalu bermimpi tentang seorang wanita cantik yang datang ke rumah ini. Wanita yang selalu mengajakku untuk berdansa. Namun, sayang dia hadir hanya dalam mimpi.
"Apa ya hubungan wanita cantik yang hadir dalam mimpi Allan dengan kain itu? Lihat Mey ... di halaman berikutnya?" Mas Rasya menunjukkan halaman yang baru dia buka.
Banyak rahasia yang belum terkuak di sini. Tentang cinta, dendam, amarah dan keserakahan. Aku tak bisa membuka semuanya. Semua rahasia ada di loteng itu