Tubuh Mas Bram bersimbah darah yang menggenang di pelataran. Bau anyir darah yang bercampur dengan air hujan menyengat hidung. Serta merta aku berlari, memeluk tubuhnya yang tersungkur dan sudah tak sadarkan diri.
"Mas! Apa yang terjadi? Bangun, Mas." Aku memeluk tubuh Mas Bram dan pelan-pelan membalikan tubuhnya.
"Mas! Bangun!" teriakku histeris dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara bumantara masih terus bermandi hujan.
"Tolong! Toloooooong!" Teriakanku membahana tetapi tetap saja terkalahkan oleh derasnya hujan disertai petir yang menyambar. Pasti tak ada yang mendengar teriakanku saat itu.
Kemudian sebuah pukulan menghantam tekuk dan membuat pandanganku gelap. Entah apa yang terjadi berikutnya. Aku tersadar saat bias arunika menembus retina dan suara-suara teriakan terdengar sangat keras.
"Panggil, Polisi! Ada pembunuhan di rumah Pak Bram!" teriakan seseorang sangat memekakkan telinga.
"Istrinya sendiri yang membunuh. Tega sekali!" teriakan yang lain membuatku semakin tersadar.Â
Pelan-pelan aku bangun dengan memegang leherku yang sangat sakit. Dan aku melihat tubuh Mas Bram sudah terbujur kaku dengan luka menganga di dada, dan sebilah belati dalam genggamanku. Aku tak mengerti mengapa belati itu ada dalam genggamanku.
"Tidak! Mas bangun! Apa yang terjadi?" teriakku histeris sambal melempar bilah belati itu kemudian memeluk tubuh Mas Bram erat.
Aku mendengar suara sirine mobil polisi tiba tepat di hadapanku. Mereka menodongkan pistol dan menangkapku.Â
"Jangan tangkap aku,Pak. Bukan aku pembunuh suamiku?" ujarku menjelaskan seraya berontak saat akan ditangkap,"Percayalah,Pak. Bukan aku yang melakukannya?"